Senin, 05 Maret 2012

Revisi KUHP Sekarang

Saya ikut mendukung tuntutan Amnesty Internasioanl kepada pemerintah Indonesia untuk mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mengikut sertakan pelarangan tindakan penyiksaan secara eksplisit, sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Sosial yang telah diratifikasi Indoensia. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara spesifik mengatur pelarangan tindak penyiksaan.

Tentu saja tindakan penyiksaan tidak sepenuhnya tidak dilarang di dalam KUHP, walaupun dalam KUHP istilah yang digunakan adalah penganiayaan. Pasal 351-358 KUHP menjabarkan berbagai jenis penganiayaan, mulai dari penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), penganiayaan biasa (351), penganiayaan biasa yang direncanakan terlebih dahulu (353), penganiayaan berat (354) dan penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu (355). Hanya saja penganiayaan yang dijabarkan dalam KUHP belum sepenuhnya mencakup apa yang dimaksud sebagai penyiksaan (torture) sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7dan 9  Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (tapi terutama pasal 7).


Salah satu kelemahan yang kerap disuarakan oleh aktivis HAM adalah pasal-pasal tersebut tidak secara spesifik mengatur tindak penganiayaan yang dilakukan oleh aparat negara, pada saat menjalankan interogasi, misalnya, atau pada saat menjatuhkan hukuman. Konvensi anti-penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 5/1998, mendefinisikan penyiksaan sebagai (saya berusaha menerjemahkannya di belakang);

...torture means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity...

(...tindakan yang menyebabkan kesakitan atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang dengan sengaja dilakukan untuk mendapatkan dari orang tersebut, atau dari pihak ketiga, informasi tertentu atau pengakuan, atau sebagai sebuah hukuman untuk suatu hal yang korban - atau pihak ketiga - lakukan, atau sebagai intimidasi, atau untuk memaksa korban atau pihak ketiga, atau untuk alasan-alasan lain yang berdasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apa pun, serta kesakitan atau penderitaan tersebut dilakukan atas sepengetahuan atau persetujuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik. )

Jadi, bila dilihat di atas, konvensi anti penyiksaan memiliki sejumlah elemen berikut: kesakitan atau penderitaan, elemen tujuan (mendapatkan informasi, pemaksaan untuk melakukan sesuatu, bentuk diskriminasi, pengakuan), dan elemen keterlibatan aparatur negara (pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik). Bila merujuk pada konvensi tersebut maka pasal-pasal penganiayaan dalam KUHP yang hanya mengatur elemen kesakitan atau penderitaan masih sangat kurang memadai.

Harapan saya adalah bila Indonesia merevisi KUHP (agar menyesuaikan dengan konvensi anti-penyiksaan) maka peristiwa-peristiwa penyiksaan dan penganiayaan yang kerap diduga dilakukan oleh polisi dan aparatur negara lainnya akan berkurang. Termasuk juga untuk mengurangi kasus-kasus pelanggaran HAM yang konon katanya sering dilakukan oleh tentara Indonesia di Papua. Saya harap ini akan terjadi tidak lama lagi.

Referensi:  http://nasional.kompas.com/read/2012/03/04/08535349/Amnesty.International.Desak.Indonesia.Revisi.KUHP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar