Rabu, 30 Mei 2012

Hak Asasi Manusia Bagi Penyandang Disabilitas

Saya selama ini berpikir telah memiliki bekal pemahaman yang cukup mengenai isu-isu hak asasi manusia. Saya mengambil kuliah master mengenai hak asasi manusia, dan begitu lulus, saya merasa seolah-olah saya telah memiliki izin resmi untuk berbicara (dengan tingkat kepercayaan diri tertentu) tentang isu-isu HAM.

Betapa kelirunya saya!

Tiga minggu belakangan ini saya tiba-tiba disentakkan pada kesadaran bahwa saya sebenarnya buta. Bukan sekedar buta, karena saya  sebenarnya bisa melihat, tapi saya tidak menyadari apa yang saya lihat. Saya melihat dan melaluinya setiap hari tapi saya tidak sadar bahwa banyak hal yang saya lihat dan lalui tersebut sebenarnya adalah berbagai permasalahan HAM yang serius dan mempengaruhi kehidupan banyak orang yang sebenarnya hidup di sekitarku sendiri.

Kesadaran ini saya dapat sejak mulai bekerja dengan kawan-kawan penyandang disabilitas. Cerita-cerita mereka membuat saya merasa malu karena kekurang-tahuan dan ketidakpedulian saya selama ini tentang isu-isu hak penyandang disabilitas. Pada saat yang bersamaan, semakin banyak saya mendengarkan, semakin saya mengagumi kekuatan mental, kegigihan dan daya juang mereka yang luar biasa.

Salah satu hal pertama yang saya pelajari adalah bahwa disabilitas tidak hanya sekedar memiliki makna medis, melainkan juga sosial. Sebagai istilah medis, disabilitas berarti ketidaklengkapan fungsi tubuh, misalnya bila tubuh tidak mampu menjalankan fungsi tubuhnya untuk berjalan, maka orang tersebut dikategorikan sebagai tunadaksa. Bila ia tidak mampu melihat, maka ia dianggap sebagai tunanetra, dan seterusnya.

Pengkategorian disabilitas sebagai istilah medis tentu saja penting, namun tidak kalah pentingnya adalah disabilitas sebagai sebuah isu sosial. Sebagai isu sosial, disabilitas berarti hambatan yang dialami oleh seseorang untuk memenuhi fungsi sosial dirinya yang sewajarnya. Hambatan ini tidak semata-mata muncul sebagai akibat kondisi fisik orang tersebut, melainkan juga sebagai akibat kondisi sosial. Disabilitas seorang penyandang tunanetra, misalnya, tidak hanya terjadi akibat ia tidak bisa melihat, namun juga ketika ia tidak bisa menemukan pekerjaan yang layak sebagai akibat kondisinya yang tidak bisa melihat tersebut. Disabilitas seorang tunadaksa terjadi bukan hanya ketika ia kehilangan kemampuan untuk berjalan, melainkan juga ketika ia tidak bisa melakukan perjalanan keluar rumah karena tidak ada fasilitas yang memampukan ia untuk melakukan perjalanan. Disabilitas terjadi ketika si penyandang disabilitas berupaya untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial wajarnya, namun tidak bisa karena tiadanya alat-alat yang memampukan dia untuk itu.

Itulah sebabnya dalam isu disabilitas, penyediaan sarana dan prasana menjadi sangat penting. Hanya dengan itulah maka si penyandang disabilitas dapat mengatasi hambatan fisiknya dan berfungsi dengan wajar dan bermartabat. Masalah muncul ketika sarana dan prasarana ini tidak tersedia. Bila ini terjadi, maka sebenarnya hak asasi manusia para penyandang disabilitas untuk memiliki kehidupan yang bermartabat telah terlanggar.

Inilah yang kerap terjadi di depan mata kita, hanya saja kita (mereka yang bukan penyandang disabilitas) tidak menyadarinya, atau kadang kita menyadarinya namun memilih untuk bersikap tidak acuh. Dari mulai hal yang sederhana saja, seperti sedikitnya akses ke trotoar yang lebar dan mudah dilewati oleh para pengguna kursi roda. Juga tidak disediakannya penerjemah bahasa isyarat untuk tayangan-tayangan berita televisi. Kadang masalahnya bisa sangat serius seperti misalnya diskriminasi dalam pemberian pelayanan publik seperti yang dialami oleh teman saya Ridwan ketika hendak melakukan penerbangan dengan Lion Air. Tidak kalah seriusnya adalah isu tidak terpenuhinya hak memilih-dipilih penyandang disabilitas dalam pemilu.

Para penyandang disabilitas, secara umum, adalah termasuk keseluruhan umat manusia yang hak asasi manusianya terlindungi dalam berbagai deklarasi HAM, kovenan dan perjanjian HAM. Hak mereka dilindungi secara spesifik oleh Konvensi Hak Para Penyandang Disabilitas yang diadopsi PBB pada tahun 2006, dan diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2011. Konvensi ini mengenali pentingnya untuk memberikan perlindungan yang spesifik bagi para penyandang disabilitas mengingat hambatan dan tantangan bersifat khusus yang mereka hadapi sehari-hari. Tujuannya adalah mengatasi hambatan-hambatan ini dengan mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan agar para penyandang disabilitas dapat memiliki hidup yang bermartabat sebagaimana orang-orang lain.

Tentu saja konvensi itu, dan ratifikasinya oleh Indonesia, masih merupakan langkah awal sebelum hak-hak para penyandang disabilitas bisa sepenuhnya terwujud di Indonesia. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pengarus-utamaan (mainstreaming) isu-isu yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam kesadaran publik. Dengan cara inilah diharapkan agar publik sendiri pun bisa ikut mendorong pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Sebagai penutup saya hendak mengutip salah satu bagian dari Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, dari bagian Mukadimah, yang berbunyi demikian (saya berusaha sebaik-baiknya menerjermahkan paragraf tersebut tepat di bawahnya):

Recognizing the valued existing and potential contributions made by persons with disabilities to the overall well-being and diversity of their communities, and that the promotion of the full enjoyment by persons with disabilities of their human rights and fundamental freedoms and of full participation by persons with disabilities will result in their enhanced sense of belonging and in significant advances in the human, social and economic development of society and the eradication of poverty,

"Mengenali keberadaan yang berharga dan kontribusi potensial yang bisa diberikan oleh para penyandang disabilitas terhadap kesejahteraan umum dan keberagaman komunitas mereka, dan bahwa pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas dan kebebasan fundamental mereka serta partisipasi penuh para penyandang disabilitas akan memperkuat rasa kepemilikan mereka dan mendorong kemajuan-kemajuan signifikan dalam pembangunan kemanusiaan, sosial dan ekonomi masyarakat dan penghapusan kemiskinan."

Ya. Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan.

Hak Penyandang Disabilitas Dalam Pemilu

Pemilihan Umum adalah salah satu momen paling penting dalam kehidupan demokrasi. Pemilu adalah saat dimana seorang warga negara (yang dianggap dewasa dan mampu bertanggung jawab) dapat mengekspresikan salah satu haknya yang paling fundamental, yaitu hak untuk memilih dan dipilih. Ini adalah saat dimana semua orang memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan publik pemerintahannya dengan cara memilih orang-orang yang dianggap dapat mewakili kepentingan sang warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Pemilu demikian pentingnya, sehingga tanpanya demokrasi dapat dipastikan akan mati.

Itulah sebabnya hak untuk memilih dan dipilih – di negara mana pun yang menganggap dirinya sebagai demokrasi – adalah salah satu hak paling dasar yang diberikan oleh negara kepada warganya. Hak ini adalah hak yang melekat kepada kewarganegaraan seseorang. Bahkan, karena begitu tak terpisahkannya antara konsep kewarganegaraan dan hak memilih-dipilih, bisa dikatakan bahwa konsep kewarganegaraan dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk memilih dan dipilih di dalam pemilu.

Hak memilih-dipilih juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ini dianggap sebagai bagian dari hak untuk berekspresi dan berpendapat, dan juga hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam Deklarasi Universal HAM, hak ini dilindungi dalam pasal 18, 19 dan 21. Sedangkan dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, hak ini dilindungi oleh pasal 18, 19 dan 25. Kewajiban untuk melindungi dan menghormati hak-hak ini dibebankan kepada negara, dan perlindungan harus diberikan kepada semua orang tanpa terkecuali. Indonesia adala pihak penandatangan Deklarasi HAM, dan telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, dengan demikian Indonesia pun memiliki kewajiban ini.

Hanya saja, dalam prakteknya, ada kelompok-kelompok warga negara yang hak untuk memilih-dipilihnya terabaikan dan tidak terpenuhi. Hal ini bisa terjadi karena berbagai hal, seperti misalnya diskriminasi rasial, religius, kultural, ekonomi dan lain-lain. Salah satunya adalah orang-orang penyandang disabilitas.

Hak penyandang disabilitas untuk bisa berpartisipasi dalam pemilu sebenarnya telah dilindungi oleh berbagai kovenan hukum internasional. Selain pasal-pasal yang telah disebut di atas, para penyandang disabilitas juga dilindungi oleh Konvensi Mengenai Hak-hak Para Penyandang Disabilitas (2006). Pasal 29 dalam konvensi ini mengatur perlindungan atas hak untuk memilih-dipilih. Pasal 29 juga mengatur agar negara mengambil kebijakan-kebijakan untuk memastikan para penyandang disabilitas bisa memenuhi haknya tanpa menemui hambatan. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini tahun 2011 yang lalu, sehingga pemerintah kita pun terikat pada kewajiban ini.

Sebenarnya sebelum Indonesia meratifikasi konvensi tersebut, panitia pemilu (dalam hal ini KPU), baik lokal maupun nasional telah mengeluarkan sejumlah peraturan teknis tertentu yang tujuannya untuk memastikan pemilu dapat diakses oleh para penyandang disabilitas. Contoh peraturan seperti itu misalnya peraturan yang mengharuskan agar pintu masuk TPS harus minimal selebar 90cm dengan tujuan agar pengguna kursi roda bisa memasuki TPS. TPS juga tidak boleh diletakkan di tempat yang berbatu-batu, berumput tebal, atau menaiki tangga dan sebagainya agar dapat diakses dengan mudah oleh pengguna kursi roda. Ada juga peraturan yang membolehkan orang-orang dengan hambatan fisik untuk meminta bantuan seorang asisten pada saat hendak memilih di bilik suara. Semua peraturan ini memang ditujukan untuk menjamin hak memilih-dipilih para penyandang disabilitas tidak terganggu.

Hanya saja, masih banyak hal yang bisa dibenahi agar penyelenggaraan pemilu dapat menjadi semakin ramah bagi para penyandang disabilitas. Misalnya, dalam penyusunan daftar pemilih, KPU perlu mengumpulkan data penyandang disabilitas secara seakurat mungkin, dengan menyebutkan lokasi tempat mereka akan memilih dan jenis disabilitas yang mereka sandang, sehingga dapat memudahkan Panitia Pemungutan Suara setempat untuk mengambil langkah-langkah antisipasi.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya dilakukan adalah melakukan sosialisasi tentang pemilu yang bertopik khusus tentang para penyandang disabilitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa seringkali hambatan utama para penyandang disabilitas untuk mewujudkan hak politiknya dalam pemilu berasal dari lingkungan terdekat sendiri, misalnya keluarga. Kadang-kadang justru para anggota keluarga sendiri yang menghalangi para penyandang disabilitas untuk memilih dalam pemilu karena berbagai alasan, misalnya malu atau semata-mata tidak sadar bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Itulah sebabnya perlu dilakukan kampanye pendidikan publik untuk mengatasi masalah ini.

Isu hambatan pemenuhan hak politik penyandang disabilitas adalah isu yang penting untuk ditangani segera. Pertama, tentu saja karena ini merupakan salah satu hak asasi manusia yang penting. Kedua, karena diharapkan melalui pemenuhan akses atas pemilu bagi para penyandang disabilitas, maka bisa mulai menggulirkan diskusi tentang masih kurang terpenuhinya hak-hak para penyandang disabilitas dalam berbagai segi kehidupan lainnya. Ini bisa dianggap sebagai langkah pertama dari serangkaian langkah panjang lainnya dalam rangka mencapai kesetaraan dan kesederajatan para penyandang disabilitas sebagai warga negara yang bermartabat dan utuh.

Senin, 21 Mei 2012

Akhirnya!

Dua minggu lalu akhirnya aku mendapatkan pekerjaan.  Aku diterima sebagai Program Officer di IFES (International Foundation for Electoral System). Aku ditugasi untuk membantu dalam salah satu proyek mereka, AGENDA (ASEAN General Election Network for Disability Access).

IFES adalah sebuah LSM internasional yang berkantor pusat di Washington DC. Didirikan pada tahun 1987, saat ini IFES telah memiliki sekitar 35 kantor di lebih dari 30 negara, termasuk di Indonesia (paling tidak ini menurut penjelasan bosku. Aku tidak bisa mengkonfirmasi ini di situs IFES). Di Indonesia sendiri, IFES telah mulai beropasi sejak tahun 1998.

Tujuan utama IFES adalah memberikan bantuan dalam segala hal yang terkait dengan Pemilu.Tujuan akhirnya adalah untuk mempromosikan pemerintahan yang demokratis, dengan anggapan bahwa Pemilu  yang terlaksana dengan baik akan menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan responsif terhadap kepentingan masyarakat.

Proyek yang akan aku tangani berkaitan dengan akses Pemilu penyandang disabilitas di negara-negara Asia Tenggara. Proyek ini dinamai AGENDA, dan merupakan kolaborasi antara IFES dengan sejumlah LSM lain yang bergerak dalam bidang pengawasan Pemilu serta hak-hak penyandang cacat. LSM-LSM yang menjadi partner IFES antara lain PPUA Penca (Pusat Pemilu untuk Akses Penyandang Cacat), PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), dan JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat). Pendanaan didapatkan IFES melalui dana bantuan USAID.

AGENDA bertujuan untuk mendorong terlaksananya Pemilu yang terbuka bagi para penyandang disabilitas di Asia Tenggara. Kenyataan yang terjadi selama ini adalah penyelenggaraan PEMILU seringkali tidak mempertimbangkan keberadaan para pemilih yang memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik. Akhirnya seringkali hak-hak para penyandang disabilitas ini dalam Pemilu menjadi terabaikan dan tidak terpenuhi. Ada banyak penyebab mengapa ini bisa terjadi, mulai dari sosial-politik hingga kultural . AGENDA berharap agar hambatan-hambatan ini bisa teratasi sehingga hak-hak mereka menjadi terlindungi.

Aku harus mengakui bahwa pemahamanku tentang hak-hak penyandang cacat masih sama sekali minim (hal yang aku katakan dengan terus terang pada saat wawancara). Namun aku punya sedikit pemahaman tentang HAM dan juga tentang Pemilu. Selain itu aku juga punya pengalaman mengelola program bantuan. Itulah mungkin alasan-alasan mengapa aku diterima.

Aku sendiri bertekad  akan belajar dengan keras untuk memahami tentang hak-hak penyandang disabilitas. Mungkin suatu saat aku akan membuat tulisan tentang hal itu dan meletakkannya di sini.

Semoga aku bisa melakukan tugas-tugasku dengan baik.

Untuk informasi-informasi tentang program IFES silahkan lihat: http://www.ifes.org/About/Who-We-Are.aspx


Untuk informasi mengenai AGENDA, silahkan lihat: http://www2.agendaasia.org/index.php?lang=en


Minggu, 13 Mei 2012

Sudah Demokratiskah Indonesia?

Membaca berita-berita tentang pelarangan diskusi buku Irshad Manji di UGM membuatku bertanya-tanya tentang kondisi demokrasi di Indonesia. Indonesia selama ini membanggakan dirinya sebagai sebuah negara demokrasi, namun berbagai kejadian akhir-akhir ini membuatku mempertanyakan tentang esensi demokrasi di Indonesia.

Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan. Definisi tentang demokrasi yang paling melekat di kepalaku adalah definisi yang dahulu kudapat di bangku sekolah pada jaman Orde Baru. Definisi itu adalah demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Belakangan aku baru tahu bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Abraham Lincoln, tapi hingga sekarang ini adalah kata-kata yang pertama kali kuingat kalau bicara tentang demokrasi.

Kata 'demokrasi' sendiri, secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani yang artinya 'kekuasaan rakyat', atau 'kedaulatan rakyat'. Ada sebuah frase berbahasa latin yang juga berhubungan dengan ini, “Vox Populi Vox Dei” (suara rakyat, suara Tuhan). Demokrasi mendasarkan legitimasinya kepada mandat yang diberikan oleh rakyat. Keinginan rakyatlah yang menentukan ke arah mana kebijakan publik akan dijalankan. Dalam pemerintahan demokratis, suara rakyat adalah absolut, sehingga ia seolah-olah menjadi suara Tuhan.

Rakyat adalah keseluruhan warga yang tinggal di suatu unit politik tertentu. Permasalahannya adalah suara rakyat tidak pernah satu Dalam suatu masyarakat yang besar dan beragam, maka sulit sekali untuk membuat seluruh warga untuk bersepakat dalam hal apa pun. Inilah yang menyebabkan sistem demokrasi yang murni menjadi sulit untuk terwujud. Demokrasi pun berubah pengertiannya menjadi bukan lagi pemerintahan oleh rakyat, tetapi lebih tepatnya sebagai sebuah sistem pemerintahan oleh mayoritas.

Tentu saja pemerintahan oleh mayoritas rakyat pun secara praktis tetap tidak memungkinkan. Itulah sebabnya diciptakan mekanisme perwakilan, dimana rakyat bisa memilih wakil-wakil untuk memerintah atas nama mereka. Oleh karena itu mungkin definisi demokrasi yang cukup tepat adalah pemerintahan oleh mayoritas melalui perwakilan-pewakilan.

Bila kita melihat definisi demokrasi yang sedemikian, maka tampaknya Indonesia sudah menjadi negara yang cukup demokratis. Kita punya parlemen yang berfungsi untuk menjadi penyeimbang dan pengecek kekuasaan presiden. Kita punya lembaga kehakiman yang bisa berfungsi menjadi penengah bila terjadi konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif. Kita juga punya pemilu, yang fungsinya tidak hanya untuk memastikan terjadinya rotasi kekuasaan, melainkan juga untuk memastikan bahwa suara mayoritas akan menjadi penentu utama pertimbangan kebijakan-kebijakan publik.

Kita tidak hanya memiliki institusi-institusi resmi yang demokratis. Kita juga mengenali model-model penyampaian pendapat di luar jalur resmi, misalkan melalui jalur demonstrasi. Demonstrasi diakui dan dilindungi oleh hukum di Indonesia sebagai cara yang sah untuk menyampaikan pendapat. Demonstrasi juga adalah sarana 'unjuk kekuatan', sebuah alat yang kerap dipakai oleh berbagai kelompok 'masyarakat' atau 'rakyat' untuk menahbiskan bahwa opini yang mereka usung sebagai opini 'mayoritas'.

Semua institusi dan alat-alat tersebut adalah alat-alat demokrasi, dan semuanya dapat digunakan untuk memastikan bahwa suara mayoritas akan didengarkan. Semua institusi tersebut berfungsi dan dilindungi di Indonesia. Dengan demikian, tampaknya bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara demokratis.

Sayangnya, demokrasi sebenarnya bukanlah melulu mengenai suara mayoritas. Bila benar demokrasi hanya mengikuti suara mayoritas, maka demokrasi menjadi tidak berbeda dengan sistem pemerintahan tirani. Bedanya hanya bahwa dalam demokrasi, tirani dipraktekkan oleh mayoritas. Demokrasi tidaklah seperti ini. Ia memiliki satu nilai esensial lain yang tidak kalah pentingnya dengan pemerintahan melalui suara terbanyak. Apakah nilai esensial itu?

Nilai esensial yang sangat penting bagi demokrasi adalah perlindungan atas hak asasi manusia. Sejarah menunjukkan bahwa demokrasi berkembang berdampingan dengan perkembangan konsep hak asasi-manusia. Kedua konsep itu tidak berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling bertaut dan mempengaruhi pemahaman tentang satu sama lain.

Bila kita melihat sejarah, ada sejumlah gerakan-gerakan sosial yang ikut berpengaruh terhadap baik konsep demokrasi maupun HAM. Gerakan anti perbudakan, misalnya, berhasil memberikan seperangkat hak-hak sipil dan politik yang tadinya hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kulit putih menjadi bisa juga dinikmati oleh orang-orang kulit berwarna. Hak-hak sipil dan politik yang diberikan kepada kaum kulit berwarna antara lain adalah hak untuk memberikan suara dalam pemilu, untuk diangkat sebagai pejabat pemerintahan, untuk mendapatkan pendidikan, dan lain sebagainya. Semua hak ini memungkinkan orang-orang kulit berwarna untuk ikut berpartisipasi dalam sistem yang demokratis. Berbagai gerakan sosial itu berhasil membuat isu HAM menjadi isu yang sentral dalam pemerintahan yang demokratis.

Penting untuk diingat juga bahwa semua gerakan-gerakan sosial itu relatif berhasil mencapai tujuannya karena sistem yang relatif demokratis. Dalam sistem yang demokratis, setiap orang memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya dan tidak perlu takut akan tindak kekerasan dari lawan bicaranya karena ia punya hak untuk dilindungi. Dialog dan perubahan secara relatif damai menjadi mungkin terjadi. Itulah sebabnya demokrasi menjadi alat yang sangat penting bagi perluasan dan penambahan HAM. Juga ini menunjukkan bahwa salah satu karakter demokrasi adalah ia mampu melebarkan sayap perlindungannya terhadap mereka yang sebelumnya tidak terlindungi. Demokrasi adalah sistem yang mampu memberikan suara kepada mereka yang sebelumnya tidak bersuara (to give voice to the voiceless).

Bila melihat demokrasi dari kacamata seperti ini, maka saya harus katakan bahwa Indonesia tampaknya masih belum demokratis. Ketika orang tidak bisa mengutarakan pendapatnya secara bebas tanpa merasa takut, maka itu artinya demokrasi kita belum bekerja secara sepenuhnya. Ketika perlindungan atas hak-hak kita untuk beropini dilecehkan dan diinjak-injak tanpa ada upaya dari negara untuk menjaganya, maka itu artinya demokrasi kita tidak berjalan. Ketika kekerasan masih menjadi cara komunikasi utama dan opini dipaksakan, maka yang kita punya saat ini hanyalah tirani mayoritas.

Rabu, 02 Mei 2012

Hak Untuk Tidak Beragama

Apakah hak untuk tidak beragama dikenali dalam hukum HAM internasional? Hingga saat ini memang tidak ada satu pun perjanjian internasional yang secara eksplisit memberikan perlindungan terhadap para atheis. Bahkan kata 'atheisme' tidak sekali pun disebut dalam pasal-pasal konvensi Hak Asasi Manusia internasional mana pun, berbeda dengan kata 'agama' dan 'kepercayaan'. Namun, ini tidak berarti atheisme tidak dilindungi oleh konvensi-konvensi HAM internasional.

Hak untuk tidak beragama pada dasarnya tetap dilindungi dalam konvensi-konvensi ini. Ada dua jalur untuk perlindungan tersebut. Pertama, pada dasarnya atheisme dapat dikelompokkan sebagai sebentuk kepercayaan. Oleh karena itu, pasal-pasal yang memberikan perlindungan terhadap para penganut agama dan kepercayaan juga dapat diaplikasikan terhadap para penganut atheisme. Kedua, atheisme juga dapat dipandang sebagai satu bentuk kebebasan berpikir (freedom of thought), dan hak kebebasan berpikir telah diatur secara eksplisit di dalam berbagai konvensi internasional tersebut.

Dengan demikian, pasal 18 dari ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang berbicara tentang perlindungan bagi kebebasan berpikir dan beragama dapat diartikan sebagai juga memberikan perlindungan bagi kaum atheis, bahkan walaupun kata-kata 'atheisme' sama sekali tidak disebutkan di dalam pasal tersebut. Begitu pula pasal 2 ayat (2) dari ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang berbicara tentang perlindungan dari  diskriminasi rasial, warna kulit, jenis kelamin, dan lain-lain (termasuk agama), juga memberikan perlindungan bagi atheisme, bahkan walaupun kata 'atheisme' tidak disebutkan di dalam pasal tersebut.

Bagaimana dengan perlindungan atas hak untuk tidak beragama di Indonesia?

Sekilas tampaknya atheisme tidak memiliki tempat di Indonesia. Pertama, karena ada penolakan secara sosial. Kedua, penolakan secara legal-formal.

Secara sosial, mayoritas masyarakat Indonesia memeluk salah satu dari 6 agama resmi yang diakui pemerintah atau salah satu dari aliran-aliran kepercayaan tradisional. Orang Indonesia umumnya memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap agama atau aliran kepercayaan berbeda karena umumnya mereka memandang bahwa 'pada dasarnya Tuhan yang dipercaya tetap sama, hanya cara untuk mencapaiNya berbeda'. Filosofi seperti ini mampu membantu menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Hanya saja, filosofi inilah juga yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lebih resisten terhadap paham atheisme. Bahkan bukan hanya resisten, melainkan terang-terangan menolak, yang kemudian mengarah kepada tindak kekerasan terhadap orang-orang yang mengaku dirinya sebagai atheis.

Penolakan secara sosial kemudian ditambah juga dengan penolakan atheisme secara legal formal. Semua orang di Indonesia tahu bahwa sila pertama dari dasar negara Indonesia berbunyi “Ketuhanan yang maha esa”. Ini kemudian diperkuat lagi dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Kebanyakan orang menafsirkan sila ini sebagai kewajiban bagi seluruh warga Indonesia untuk memiliki Tuhan untuk diimani. Bila tidak bisa memiliki Tuhan, maka orang tersebut akan dianggap tidak memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan oleh demikian bisa dihukum, atau bahkan tidak lagi dianggap sebagai warga negara.

Lebih jauh lagi, bahkan walaupun atheisme tidak secara eksplisit dilarang oleh hukum, namun ada pasal-pasal hukum yang mengkriminalkan penghinaan terhadap agama. Ada sejumlah pandangan yang mengatakan bahwa paham atheisme – terutama bila ada upaya menyebar luaskan – merupakan tindakan penghinaan terhadap agama, sehingga dengan demikian dapat dipidanakan. Perlindungan dari penghinaan atas agama, dalam hukum di Indonesia, diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kemudian ada juga pasal 165a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bunyinya:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a.   Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b.   Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ayat (b) di atas, dapat diartikan sebagai sebuah larangan untuk menyebarkan paham atheisme di Indonesia, walaupun tidak secara eksplisit melarang orang untuk tidak beragama.

Kasus Alexander Aan, seorang PNS di Sumatera Barat, yang mengumumkan dirinya sebagai seorang atheis di facebook, merupakan contoh yang sangat baik untuk mengilustrasikan dua jenis penolakan tersebut.  Alexander diamuk massa setelah berita tentang dirinya yang menganut atheisme tersebar, dan kemudian ia dibawa ke kantor polisi dan didakwa dengan pasal 165a KUHP di atas, dengan ancaman pidana 5 tahun penjara. Kasusnya masih dalam proses hukum.

Apakah hak untuk tidak beragama sebaiknya dikenali oleh hukum di Indonesia? Bagi saya jawabannya adalah iya. Ada dua alasan.

Pertama, karena hak untuk tidak beragama adalah sisi lain dari koin yang sama dari hak untuk beragama. Ini karena melekat dalam hak untuk beragama adalah elemen 'kerelaan' artinya setiap orang memeluk agama secara sukarela dan bukan karena dipaksa. Elemen kerelaan ini bahkan bisa dilihat pada butir ke-7 pengamalan sila pertama Pancasila, yang bunyinya:  “Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.” Karena agama tidak bisa dipaksakan, maka kita bisa menarik kesimpulan lebih jauh bahwa bila seseorang tidak ingin beragama maka kita tidak bisa memaksa dia untuk merubah pendiriannya tersebut. Bila agama diwajibkan maka itu sebenarnya sudah melanggar esensi paling utama dari hak beragama itu sendiri.

Kedua, karena hak untuk tidak beragama juga merupakan bagian dari hak untuk bersikap dan berpendapat (freedom of opinion and conscience). Hak ini adalah salah satu hak yang dianggap bersifat absolut dan non-derogable (artinya tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, bahkan tidak boleh dikurangi dalam kondisi darurat). Tentu saja, hak ini memiliki batasan-batasan, misalnya pelaksanaan hak ini tidak boleh sampai mengganggu ketertiban umum. Pandangan inilah yang seringkali digunakan untuk menghalang-halangi atheisme di Indonesia, yaitu karena dianggap dapat meresahkan masyarakat. Hanya saja ketertiban umum adalah sesuatu yang relatif dan sangat tergantung kepada penyikapan pemerintah sendiri. Bila pemerintah memilih untuk tidak memberikan kepastian perlindungan hukum terhadap mereka yang memilih untuk tidak beragama, misalnya, tentu saja ini akan berkontribusi meningkatkan keresahan publik.

Jadi, itulah dua alasan saya mengapa hak untuk tidak beragama sebaiknya dikenali dan dilindungi secara hukum di Indonesia: yaitu karena itu sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari hak beragama, dan karena itu adalah bagian dari hak untuk bersikap dan berpendapat. Selain itu, pengenalan terhadap hak ini juga penting sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban internasional Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi ICCPR dan ICESCR. Seperti telah saya jelaskan di atas, walaupun atheisme tidak disebutkan secara eksplisit dalam dua instrumen internasional tersebut, namun secara implisit perlindungan terhadap hak ini sebenarnya telah terkandung  di dalam keduanya.