Rabu, 10 April 2013

Segera Ratifikasi Statuta Mahkamah Pidana Internasional

Indonesia perlu segera meratifikasi statuta mahkamah pidana internasional. Ini adalah salah satu langkah yang penting bagi upaya penegakan rezim HAM di negeri ini, di kawasan Asia Tenggara dan secara global. Peratifikasian ini penting antara lain karena: 

1. Ini akan memberikan legitimasi tambahan bagi sistem pengadilan Indonesia untuk mengadili para pelanggar HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum. Selain itu, ratifikasi juga mungkin dapat mendorong pemerintah Indonesia untuk semakin serius dalam pembentukan pengadilan HAM yang selama ini terus menerus tertunda. 

2. Di tingkat Asia Tenggara, peratifikasian ini diharapkan dapat berpengaruh pada komitmen-komitmen negara lain di kawasan untuk ikut menegakkan rezim HAM. Sejauh ini baru dua negara di Asia Tenggara yang telah meratifikasi Statuta Roma, yaitu Kamboja dan Filipina. Bergabungnya Indonesia mungkin akan bisa mempengaruhi negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama. Selain itu, peratifikasian Statuta Roma juga akan semakin menambah bobot komitmen ASEAN atas isu HAM, terutama mengingat ASEAN baru saja mencetuskan deklarasi HAM ASEAN pada bulan November tahun 2012 yang lalu. 

3. Di tingkat global, Indonesia akan membuktikan komitmennya, yang telah diucapkan berulangkali di berbagai forum internasional, atas penegakan rezim HAM, baik secara domestik maupun secara global. Selama Indonesia belum meratifikasi statuta Roma, komitmen itu tetap hanya berupa angin kosong yang tidak berarti. Kegagalan meratifikasi statuta Roma akan menambah panjang daftar kegagalan Indonesia dalam menjamin perlindungan HAM bagi warganya, terutama bila melihat kasus-kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang akan semakin menjatuhkan reputasi Indonesia di mata dunia internasional. 

Pemerintah Indonesia pada awalnya berencana untuk meratifikasi statuta ini pada tahun 2008, namun membatalkannya karena penolakan yang kuat dari TNI. Saat itu pemerintah menunda peratifikasian ke tahun 2013. Tapi saat ini upaya peratifikasian ini kembali menemui hambatan karena tuduhan bahwa isu peratifikasian ini adalah isu politis yang dimaksud untuk mengganjal sejumlah orang untuk maju sebagai calon presiden. Tuduhan ini mungkin tidak sepenuhnya salah. Saya sendiri merasa bahwa kalaupun itu benar, sebenarnya tidak masalah. Tidak pantas sebuah negara yang berkomitmen atas perlindungan HAM untuk memilih seorang Presiden yang memiliki sejarah kelam pelanggaran HAM. Bila ratifikasi ini bisa berfungsi untuk menjadi penyaring pertama atas calon presiden yang tak pantas, saya rasa, justru semakin menambah urgensinya.  

Kamis, 24 Januari 2013

Prostitusi: Legal atau tidak?

Di sebuah kafe di Jakarta, dua orang teman lama sedang berbincang ngalor-ngidul.

Arman: Dod, lo setuju atau nggak kalau prostitusi dilegalkan?

Dodi: Wah, pertanyaan sulit. Kalau menurut lo?

Arman: Gue ga setuju sama sekali. Menurut gue prostitusi seharusnya dilarang.

Dodi: Kenapa?

Arman: Ya, karena prostitusi itu jahat. Itu adalah salah satu sumber penghasilan penjahat terorganisir terbesar, selain narkoba. Selain itu para PSK tidak memilih profesi itu atas dasar keinginan mereka sendiri. Seringkali mereka ditipu, dipaksa atau terpaksa oleh keadaan. Gue ga yakin kalau dalam kondisi normal mereka akan mau bekerja sebagai PSK.

Dodi: Ya, betul juga ya.

Arman: Hal lain adalah karena prostitusi memperlakukan perempuan semata-mata sebagai objek. Ada hubungan kekuasaan yang tidak imbang dalam transaksi prostitusi.

Dodi: Gue setuju sekali sama itu.

Arman: Jadi lo juga sepakat bahwa prostitusi harus dilarang?

Dodi: Gimana ya? Jawaban gue agak-agak rumit dijelaskan. Tapi mungkin jawaban sederhananya adalah menurut gue bila kita hanya mempertimbangkan prostitusi saja, maka seharusnya itu tidak perlu dilarang. Menurut gue bahkan seharusnya pekerja seks komersil itu menjadi profesi yang dilindungi oleh hukum.

Arman: Lho kok begitu? Kenapa?

Dodi: Ada beberapa alasan. Pertama-tama, gue merasa pada dasarnya adalah tubuh seseorang adalah hak dirinya sendiri. Dia punya hak untuk menentukan apa yang hendak ia lakukan pada dirinya sendiri, selama ia tidak melukai atau mengancam jiwa orang lain secara langsung. Jadi, apabila seseorang hendak memberikan jasa seksual kepada orang lain dan mendapatkan uang sebagai imbalan, menurut gue itu sepenuhnya hak orang tersebut.

Arman: Lo nggak merasa menjual tubuh dengan imbalan uang sebagai tindakan tidak bermoral?

Dodi: Mengapa itu dianggap tidak bermoral?

Arman: Karena banyak agama melarang itu dan juga kebanyakan orang merasa sama.

Dodi: Menurut gue tidak ada masalah moral dengan transaksi seksual. Transaksi itu terjadi di ruang pribadi, dan sebenarnya tidak mengganggu orang lain. Juga seperti gue bilang tadi, tidak ada yang terluka atau terancam jiwanya secara langsung.

Arman: Okelah. Gue sebenarnya ga setuju. Tapi gue masih mau dengar alasan lo yang lain. Apa lagi?

Dodi:  Baik. Nah, tadi lo menyinggung-nyinggung soal bagaimana prostitusi membuat seorang manusia tidak lagi sebagai subjek, melainkan sebagai objek.

Arman: Iya. Itu yang gue maksud tadi.

Dodi:  Menurut pandangan gue, salah satu alasan itu terjadi justru karena selama ini prostitusi tidak dilegalkan.

Arman: Lho, kok gitu? Bukannya dalam sebuah transaksi seksual dalam prostitusi, tubuh seseorang dikuantifikasi menjadi uang dan dengan demikian merubah manusia berubah menjadi objek? Prostitusi jelas membuat manusia - terutama perempuan - menjadi objek semata-mata. 

Dodi:  Menurut elo apa yang membedakan manusia sebagai objek dan manusia sebagai subjek?

Arman: Menurut lo apa?

Dodi: Gue nanya lo malah nanya balik. Okelah, ini menurut gue.

Manusia sebagai objek, tidak bisa membuat pilihan atau keinginan. Atau dia memiliki keinginan tapi tidak bisa membuat pilihan sesuai yang dia inginkan. Atau dia membuat pilihan tapi itu bukan apa yang dia inginkan. Jadi bukan pengkuantifikasian tubuhnya menjadi sejumlah uang yang membuat seseorang menjadi objek, melainkan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan. Manusia sebagai subjek, di lain pihak, memiliki kesinambungan antara yang ia inginkan dan pilihan yang ia ambil. Ia bebas mengambil pilihan sesuai yang dia inginkan.

Arman: Jadi seorang PSK yang tidak bisa membuat pilihan adalah sebuah objek dong.

Dodi: Persis. Tapi bagaimana dengan seseorang yang memang menginginkan dan memilih untuk menjadi PSK? Apakah lo masih bisa mengkategorikan ia sebagai sebuah objek? Atau dia sudah menjadi subjek?

Arman: Mana ada orang yang mau memilih bekerja sebagai PSK secara sadar.

Dodi: Gue ga tahu soal itu. Tapi asumsikan ada orang-orang yang mau memilih bekerja sebagai PSK bahkan walaupun dia memiliki kemampuan untuk membuat pilihan profesi lain. Menurut lo apakah dia seorang subjek atau sebuah objek?

Arman: Mungkin dia bisa dikategorikan sebagai subjek.

Dodi: Menurut gue dia sangat bisa dikategorikan sebagai seorang subjek.

Nah, sekarang gue mau membahas tentang mengapa prostitusi seharusnya dilegalkan. Tapi sebelum itu gue perlu bilang bahwa prostitusi memiliki potensi untuk menjadi jahat dan tidak bermoral, dan dari apa yang gue tahu soal dunia prostitusi di Indonesia memang ia jahat dan tidak bermoral, tapi bukan karena prostitusi adalah pemberian jasa seksual dengan imbalan uang.

Arman: Jadi kenapa?

Dodi: Lebih karena praktek prostitusi yang kita kenal sekarang terkait erat dengan praktik perdagangan manusia, atau human trafficking. Praktik perdagangan manusia inilah yang merubah para korban dari seorang subjek menjadi sebuah objek. Inilah yang membuat gue merasa prostitusi sebagaimana yang kita ketahui sekarang sebagai praktek jahat.

Arman: Perdagangan manusia? Apa itu?

Dodi: Menurut protokol palermo perdagangan manusia adalah:

Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan, sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebutuntuk tujuan eksploitasi.Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak, adalah eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan. dan pengambilan organ-organ tubuh

Elemen-elemen dari definisi tersebut telah dimasukkan dalam undang-undang no. 21/2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Arman: Sumpah, panjang banget definisinya. Entah gimana cara lo menghapalkan itu semua. Lo malah bikin gue bingung.

Dodi: Hahahaha... Jangan bingung. Biar gue bantu jelaskan. Dari definisi itu ada tiga elemen perdagangan manusia.

Pertama adalah elemen 'tindakan'. Tindakan itu bisa berbentuk perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang.

Kedua adalah elemen 'cara'. Cara yang digunakan adalah ancaman atau penggunaan kekerasan, tipu daya, penculikan dan bentuk-bentuk paksaan lainnya.

Ketiga adalah elemen 'tujuan', yaitu untuk mengekploitasi sang korban, bisa berbentuk eksploitasi seksual atau eksploitasi dalam bentuk lain, seperti untuk kerja paksa, perbudakan atau perdagangan organ tubuh.

Arman: Oke, gue ngerti. Jadi kalau ketiga elemen tersebut terpenuhi, maka itu dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia.

Dodi: Persis. Dan itulah sebabnya mengapa prostitusi di Indonesia sangat, sangat tidak bermoral, yaitu karena kebanyakan PSK sebenarnya adalah korban perdagangan manusia. Banyak dari mereka tidak memilih secara sadar untuk menjadi PSK. Banyak yang tertipu, tidak sedikit yang dipaksa. Mungkin ada juga yang diculik dari keluarga. Dan semuanya dieksploitasi.

Arman: Lho, kalau gitu lo harusnya setuju dengan pandangan bahwa prostitusi seharusnya dilarang. Karena itu terkait erat dengan perdagangan manusia.

Dodi: Sebaliknya. Justru gue malah berpikir seharusnya prostitusi dilegalkan sebagai bagian dari upaya menghentikan perdagangan manusia.

Arman: Asli gue nggak paham.

Dodi: Mungkin memang logika gue aneh. Tapi gue punya beberapa alasan praktis.

Pertama, salah satu alasan mengapa prostitusi begitu eksploitatif adalah karena para pekerjanya tidak memiliki perlindungan hukum. Para PSK dipaksa untuk bekerja melayanan para pelanggan tanpa ada perlindungan dalam bentuk apa pun, baik perlindungan kesehatan, asuransi pekerjaan, waktu cuti dan perlindungan-perlindungan lain yang biasanya diberikan kepada pekerja dari profesi lain.

Bila PSK dilegalkan sbagai sebuah profesi maka mereka berhak mendapatkan hak-hak sebagai seorang pekerja. Tidak hanya itu, mereka bisa menuntut majikan mereka bila gagal memenuhi hak-hak dasar tersebut. Negara pun bisa mengawasi mereka. Bila mereka mendapatkan hak-hak selayaknya pekerja, tentunya profesi ini tidak lagi menjadi eksploitatif, dan dengan demikian elemen 'eksploitasi' bisa dihilangkan dari profesi ini. Ingat tadi? Elemen 'eksploitasi' adalah salah satu elemen dalam perdagangan manusia. Bila PSK menjadi sebuah profesi yang tidak lagi eksploitatif maka hubungan antara prostitusi dengan perdagangan manusia menjadi dilemahkan.

Arman: Agak aneh. Tapi entah kenapa cukup masuk logika gue. Tapi kan masih ada elemen-elemen lain, seperti elemen 'cara'.

Dodi: Itu alasan kedua gue mengapa prostitusi harusnya dilegalkan. Bila PSK adalah sebuah profesi yang sah maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk menjalankan fungsi pengawasan sistem perekrutan. Pemerintah bisa membuat sebuah sistem pengecekan yang ditujukan untuk memastikan bahwa mereka yang memilih untuk bekerja sebagai PSK membuat pilihan yang sadar dan bukan karena dipaksa atau diancam oleh pihak-pihak tertentu.

Ini penting. Ingat tadi kita bicara soal beda antara subjek dan objek? Sistem demikian perlu dibuat untuk memastikan bahwa para PSK adalah subjek-subjek yang mandiri dan bukan sekedar objek. Masalahnya, ini tidak mungkin dilakukan selama prostitusi tidak legal. Ini hanya bisa terjadi kalau prostitusi dijadikan profesi yang sah secara hukum.


Arman: Dengan demikian prostitusi tidak lagi terkait dengan perdagangan manusia karena elemen 'cara' telah dihilangkan?

Dodi: Persis! Dan karena dua dari tiga elemen perdagangan manusia bisa kita hilangkan dari prostitusi dengan cara melegalkan profesi PSK, maka menurut gue itu yang perlu kita lakukan. Elemen pertama bisa kita abaikan sama sekali, karena itu relatif tidak sepenting dua elemen ini.

Arman: Baiklah. Gue bisa paham. Tapi kita coba kembali ke diskusi awal. Bagaimana menurut lo dengan pandangan sejumlah agama yang berkeras menganggap prostitusi sebagai profesi tidak bermoral?

Dodi: Sulitnya berdiskusi tentang moralitas dengan agama adalah agama selalu menempatkan dirinya pada posisi paling bermoral.

Arman: Maksud lo?

Dodi: Maksud gue adalah gue menolak untuk menjawab itu. Gue ga mau kata-kata gue membuat gue masuk penjara atau nyawa gue terancam. Kita selesaikan diskusi kita di sini aja.

Arman: Sumpah, aneh banget lo.

Dodi: Biarin.


Catatan: terjemahan bahasa Indonesia dari protokol Palermo, diambil dari sini: http://kuhpreform.files.wordpress.com/2008/09/perdagangan-manusia-dalam-ruu-kuhp-5.pdf. Lihat halaman 6-7.

Rabu, 02 Januari 2013

Resolusi 2013

Resolusi tahun 2013 saya:

1. Saya harus lebih banyak bepergian tahun ini. Tahun lalu sungguh sangat buruk. Saya hanya pergi ke 2 tempat di luar Jakarta. Sekali ke Ujung Kulon dan satu lagi ke Bali. Kepergian ke Bali pun awalnya bukan untuk jalan-jalan, melainkan untuk keperluan konferensi. Tahun ini harus lebih baik. Tahun ini saya harus pergi paling tidak ke satu negara Asia Tenggara dan tiga tujuan domestik di luar Jakarta (tentu saja Bandung tidak masuk hitungan).

2. Terkait buku yang terbaca, tahun lalu lumayan bagus. Banyak buku bagus yang selesai saya baca. Namun, kebanyakan buku yang saya baca adalah karya fiksi dan dalam bahasa Inggris. Saya hanya berhasil menyelesaikan tiga karya non-fiksi tahun lalu, satu dari Francis Fukuyama ("the Origins of Political Order") and two from Richard Dawkins ("the God Delusion" and "the Magic of Reality"). Tahun ini, saya harus membaca paling tidak enam karya non-fiksi. Selain itu, saya juga harus membaca paling tidak 3 novel Indonesia (tahun lalu saya coba membaca novel Indonesia, karyanya Eka Kurniawan berjudul "Cantik itu Luka". Tapi saya hanya sanggup membaca hingga 5 halaman, karena membosankan sekali).

3. Terkait pekerjaan, saya perlu menemukan sesuatu yang stabil dan berjangka panjang. Saya menyenangi pekerjaan saya, tapi sayangnya pekerjaan ini tidak memberikan stabilitas dan keamanan.

4. Saya perlu menurunkan 10 kilogram berat badan. Tahun lalu berat badan saya bertambah drastis. 

5. Saya perlu membuat update berkala blog ini. Saya menciptakan blog ini pada bulan Februari tahun lalu, dan sejak itu saya punya 14 postingan untuk blog berbahasa Inggris and 17 untuk yang berbahasa Indonesia (total 31 postingan. Mereka bukan terjemahan satu sama lain). Lumayan. Tapi tahun ini saya ingin melampaui angka tersebut. Entah apakah saya bisa melakukan itu atau tidak, karena 2-3 bulan terakhir tahun lalu saya sangat malas. Tapi saya tetap meletakkan ini di sini sebagai pengingat terhadap tekad saya.

Demikianlah ke-5 resolusi saya. Semuanya akan jadi tantangan bagi saya, namun saya pikir nomor satu akan jadi yang paling sulit. Sisanya mungkin akan relatif lebih mudah dicapai daripada yang lain, saya pikir.

Jumat, 29 Juni 2012

Fiksi 100 kata (2)

Satu malam sepi, aku mengadu kepada bulan tentang tingkah matahari di siang hari. Matahari kejam, kataku. Dia terlalu terik, terlalu terang, keluhku. Bulan diam saja mendengarkan ceritaku. Aku pikir ia tidak peduli, dan aku menjadi marah kepada dia. Aku teriaki bulan keras-keras. Aku ingin dia benar-benar mendengar, menghibur, dan menasihatiku. Namun ia diam terus. Aku berteriak semakin keras. Sekarang memaki-maki bulan. Bulan kau tidak peduli, kau tidak sayang, keluhku. Tak kusadari badanku membesar. Mulutku memanjang, dan gigiku menajam. Tubuhku berbulu. Tiba-tiba aku melolong. Senapan sang pemburu yang dari tadi menunggu menyalak. Peluru melesat dan menembus jantungku.

Bulan tersenyum geli melihatku.

Sabtu, 23 Juni 2012

Fiksi 100 Kata (1)

Bapak tikus punya anak tunggal. Ia baru saja lulus kuliah. Pak tikus sudah menyiapkan dana berlimpah untuk memasukkan anaknya ke posisi menjanjikan di instansi pemerintahan tikus. Bila sudah masuk ke sana, anaknya tidak perlu khawatir akan masa depannya lagi. Ia bahkan sudah menyiapkan putri tikus untuk dijadikan mempelai anaknya. Bibit, bebet, dan bobot sudah pasti terjamin.

Malam itu, pak tikus memanggil anaknya untuk mengabarkan rencananya. Di luar dugaannya, anaknya meledak marah. Ia menuduh pak tikus mencoba mengatur hidupnya. Anaknya lari keluar liang tinggal mereka. Di luar, kucing rumah menunggu. Kucing langsung menerkam anak pak tikus dan membawanya pergi untuk dimakan.

Rabu, 30 Mei 2012

Hak Asasi Manusia Bagi Penyandang Disabilitas

Saya selama ini berpikir telah memiliki bekal pemahaman yang cukup mengenai isu-isu hak asasi manusia. Saya mengambil kuliah master mengenai hak asasi manusia, dan begitu lulus, saya merasa seolah-olah saya telah memiliki izin resmi untuk berbicara (dengan tingkat kepercayaan diri tertentu) tentang isu-isu HAM.

Betapa kelirunya saya!

Tiga minggu belakangan ini saya tiba-tiba disentakkan pada kesadaran bahwa saya sebenarnya buta. Bukan sekedar buta, karena saya  sebenarnya bisa melihat, tapi saya tidak menyadari apa yang saya lihat. Saya melihat dan melaluinya setiap hari tapi saya tidak sadar bahwa banyak hal yang saya lihat dan lalui tersebut sebenarnya adalah berbagai permasalahan HAM yang serius dan mempengaruhi kehidupan banyak orang yang sebenarnya hidup di sekitarku sendiri.

Kesadaran ini saya dapat sejak mulai bekerja dengan kawan-kawan penyandang disabilitas. Cerita-cerita mereka membuat saya merasa malu karena kekurang-tahuan dan ketidakpedulian saya selama ini tentang isu-isu hak penyandang disabilitas. Pada saat yang bersamaan, semakin banyak saya mendengarkan, semakin saya mengagumi kekuatan mental, kegigihan dan daya juang mereka yang luar biasa.

Salah satu hal pertama yang saya pelajari adalah bahwa disabilitas tidak hanya sekedar memiliki makna medis, melainkan juga sosial. Sebagai istilah medis, disabilitas berarti ketidaklengkapan fungsi tubuh, misalnya bila tubuh tidak mampu menjalankan fungsi tubuhnya untuk berjalan, maka orang tersebut dikategorikan sebagai tunadaksa. Bila ia tidak mampu melihat, maka ia dianggap sebagai tunanetra, dan seterusnya.

Pengkategorian disabilitas sebagai istilah medis tentu saja penting, namun tidak kalah pentingnya adalah disabilitas sebagai sebuah isu sosial. Sebagai isu sosial, disabilitas berarti hambatan yang dialami oleh seseorang untuk memenuhi fungsi sosial dirinya yang sewajarnya. Hambatan ini tidak semata-mata muncul sebagai akibat kondisi fisik orang tersebut, melainkan juga sebagai akibat kondisi sosial. Disabilitas seorang penyandang tunanetra, misalnya, tidak hanya terjadi akibat ia tidak bisa melihat, namun juga ketika ia tidak bisa menemukan pekerjaan yang layak sebagai akibat kondisinya yang tidak bisa melihat tersebut. Disabilitas seorang tunadaksa terjadi bukan hanya ketika ia kehilangan kemampuan untuk berjalan, melainkan juga ketika ia tidak bisa melakukan perjalanan keluar rumah karena tidak ada fasilitas yang memampukan ia untuk melakukan perjalanan. Disabilitas terjadi ketika si penyandang disabilitas berupaya untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial wajarnya, namun tidak bisa karena tiadanya alat-alat yang memampukan dia untuk itu.

Itulah sebabnya dalam isu disabilitas, penyediaan sarana dan prasana menjadi sangat penting. Hanya dengan itulah maka si penyandang disabilitas dapat mengatasi hambatan fisiknya dan berfungsi dengan wajar dan bermartabat. Masalah muncul ketika sarana dan prasarana ini tidak tersedia. Bila ini terjadi, maka sebenarnya hak asasi manusia para penyandang disabilitas untuk memiliki kehidupan yang bermartabat telah terlanggar.

Inilah yang kerap terjadi di depan mata kita, hanya saja kita (mereka yang bukan penyandang disabilitas) tidak menyadarinya, atau kadang kita menyadarinya namun memilih untuk bersikap tidak acuh. Dari mulai hal yang sederhana saja, seperti sedikitnya akses ke trotoar yang lebar dan mudah dilewati oleh para pengguna kursi roda. Juga tidak disediakannya penerjemah bahasa isyarat untuk tayangan-tayangan berita televisi. Kadang masalahnya bisa sangat serius seperti misalnya diskriminasi dalam pemberian pelayanan publik seperti yang dialami oleh teman saya Ridwan ketika hendak melakukan penerbangan dengan Lion Air. Tidak kalah seriusnya adalah isu tidak terpenuhinya hak memilih-dipilih penyandang disabilitas dalam pemilu.

Para penyandang disabilitas, secara umum, adalah termasuk keseluruhan umat manusia yang hak asasi manusianya terlindungi dalam berbagai deklarasi HAM, kovenan dan perjanjian HAM. Hak mereka dilindungi secara spesifik oleh Konvensi Hak Para Penyandang Disabilitas yang diadopsi PBB pada tahun 2006, dan diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2011. Konvensi ini mengenali pentingnya untuk memberikan perlindungan yang spesifik bagi para penyandang disabilitas mengingat hambatan dan tantangan bersifat khusus yang mereka hadapi sehari-hari. Tujuannya adalah mengatasi hambatan-hambatan ini dengan mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan agar para penyandang disabilitas dapat memiliki hidup yang bermartabat sebagaimana orang-orang lain.

Tentu saja konvensi itu, dan ratifikasinya oleh Indonesia, masih merupakan langkah awal sebelum hak-hak para penyandang disabilitas bisa sepenuhnya terwujud di Indonesia. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pengarus-utamaan (mainstreaming) isu-isu yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam kesadaran publik. Dengan cara inilah diharapkan agar publik sendiri pun bisa ikut mendorong pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Sebagai penutup saya hendak mengutip salah satu bagian dari Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, dari bagian Mukadimah, yang berbunyi demikian (saya berusaha sebaik-baiknya menerjermahkan paragraf tersebut tepat di bawahnya):

Recognizing the valued existing and potential contributions made by persons with disabilities to the overall well-being and diversity of their communities, and that the promotion of the full enjoyment by persons with disabilities of their human rights and fundamental freedoms and of full participation by persons with disabilities will result in their enhanced sense of belonging and in significant advances in the human, social and economic development of society and the eradication of poverty,

"Mengenali keberadaan yang berharga dan kontribusi potensial yang bisa diberikan oleh para penyandang disabilitas terhadap kesejahteraan umum dan keberagaman komunitas mereka, dan bahwa pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas dan kebebasan fundamental mereka serta partisipasi penuh para penyandang disabilitas akan memperkuat rasa kepemilikan mereka dan mendorong kemajuan-kemajuan signifikan dalam pembangunan kemanusiaan, sosial dan ekonomi masyarakat dan penghapusan kemiskinan."

Ya. Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan.

Hak Penyandang Disabilitas Dalam Pemilu

Pemilihan Umum adalah salah satu momen paling penting dalam kehidupan demokrasi. Pemilu adalah saat dimana seorang warga negara (yang dianggap dewasa dan mampu bertanggung jawab) dapat mengekspresikan salah satu haknya yang paling fundamental, yaitu hak untuk memilih dan dipilih. Ini adalah saat dimana semua orang memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan publik pemerintahannya dengan cara memilih orang-orang yang dianggap dapat mewakili kepentingan sang warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Pemilu demikian pentingnya, sehingga tanpanya demokrasi dapat dipastikan akan mati.

Itulah sebabnya hak untuk memilih dan dipilih – di negara mana pun yang menganggap dirinya sebagai demokrasi – adalah salah satu hak paling dasar yang diberikan oleh negara kepada warganya. Hak ini adalah hak yang melekat kepada kewarganegaraan seseorang. Bahkan, karena begitu tak terpisahkannya antara konsep kewarganegaraan dan hak memilih-dipilih, bisa dikatakan bahwa konsep kewarganegaraan dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk memilih dan dipilih di dalam pemilu.

Hak memilih-dipilih juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ini dianggap sebagai bagian dari hak untuk berekspresi dan berpendapat, dan juga hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam Deklarasi Universal HAM, hak ini dilindungi dalam pasal 18, 19 dan 21. Sedangkan dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, hak ini dilindungi oleh pasal 18, 19 dan 25. Kewajiban untuk melindungi dan menghormati hak-hak ini dibebankan kepada negara, dan perlindungan harus diberikan kepada semua orang tanpa terkecuali. Indonesia adala pihak penandatangan Deklarasi HAM, dan telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, dengan demikian Indonesia pun memiliki kewajiban ini.

Hanya saja, dalam prakteknya, ada kelompok-kelompok warga negara yang hak untuk memilih-dipilihnya terabaikan dan tidak terpenuhi. Hal ini bisa terjadi karena berbagai hal, seperti misalnya diskriminasi rasial, religius, kultural, ekonomi dan lain-lain. Salah satunya adalah orang-orang penyandang disabilitas.

Hak penyandang disabilitas untuk bisa berpartisipasi dalam pemilu sebenarnya telah dilindungi oleh berbagai kovenan hukum internasional. Selain pasal-pasal yang telah disebut di atas, para penyandang disabilitas juga dilindungi oleh Konvensi Mengenai Hak-hak Para Penyandang Disabilitas (2006). Pasal 29 dalam konvensi ini mengatur perlindungan atas hak untuk memilih-dipilih. Pasal 29 juga mengatur agar negara mengambil kebijakan-kebijakan untuk memastikan para penyandang disabilitas bisa memenuhi haknya tanpa menemui hambatan. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini tahun 2011 yang lalu, sehingga pemerintah kita pun terikat pada kewajiban ini.

Sebenarnya sebelum Indonesia meratifikasi konvensi tersebut, panitia pemilu (dalam hal ini KPU), baik lokal maupun nasional telah mengeluarkan sejumlah peraturan teknis tertentu yang tujuannya untuk memastikan pemilu dapat diakses oleh para penyandang disabilitas. Contoh peraturan seperti itu misalnya peraturan yang mengharuskan agar pintu masuk TPS harus minimal selebar 90cm dengan tujuan agar pengguna kursi roda bisa memasuki TPS. TPS juga tidak boleh diletakkan di tempat yang berbatu-batu, berumput tebal, atau menaiki tangga dan sebagainya agar dapat diakses dengan mudah oleh pengguna kursi roda. Ada juga peraturan yang membolehkan orang-orang dengan hambatan fisik untuk meminta bantuan seorang asisten pada saat hendak memilih di bilik suara. Semua peraturan ini memang ditujukan untuk menjamin hak memilih-dipilih para penyandang disabilitas tidak terganggu.

Hanya saja, masih banyak hal yang bisa dibenahi agar penyelenggaraan pemilu dapat menjadi semakin ramah bagi para penyandang disabilitas. Misalnya, dalam penyusunan daftar pemilih, KPU perlu mengumpulkan data penyandang disabilitas secara seakurat mungkin, dengan menyebutkan lokasi tempat mereka akan memilih dan jenis disabilitas yang mereka sandang, sehingga dapat memudahkan Panitia Pemungutan Suara setempat untuk mengambil langkah-langkah antisipasi.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya dilakukan adalah melakukan sosialisasi tentang pemilu yang bertopik khusus tentang para penyandang disabilitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa seringkali hambatan utama para penyandang disabilitas untuk mewujudkan hak politiknya dalam pemilu berasal dari lingkungan terdekat sendiri, misalnya keluarga. Kadang-kadang justru para anggota keluarga sendiri yang menghalangi para penyandang disabilitas untuk memilih dalam pemilu karena berbagai alasan, misalnya malu atau semata-mata tidak sadar bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Itulah sebabnya perlu dilakukan kampanye pendidikan publik untuk mengatasi masalah ini.

Isu hambatan pemenuhan hak politik penyandang disabilitas adalah isu yang penting untuk ditangani segera. Pertama, tentu saja karena ini merupakan salah satu hak asasi manusia yang penting. Kedua, karena diharapkan melalui pemenuhan akses atas pemilu bagi para penyandang disabilitas, maka bisa mulai menggulirkan diskusi tentang masih kurang terpenuhinya hak-hak para penyandang disabilitas dalam berbagai segi kehidupan lainnya. Ini bisa dianggap sebagai langkah pertama dari serangkaian langkah panjang lainnya dalam rangka mencapai kesetaraan dan kesederajatan para penyandang disabilitas sebagai warga negara yang bermartabat dan utuh.