Sabtu, 10 Maret 2012

Komisi HAM ASEAN

ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AIHCR), atau komisi Hak Asasi ASEAN adalah sebuah badan yang didirikan pada tanggal 23 Oktober 2009 dengan tujuan promosi dan proteksi hak asasi manusia. Mandat promosi dan proteksi ini sesuai dengan yang tercantum di dalam Piagam ASEAN pasal ke-14 (1) yang berbunyi:

in conformity with the purposes and principles of the ASEAN Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms, ASEAN shall establish an ASEAN Human Rights body.

("selaras dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAM yang terkait pada promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar, ASEAN akan mendirikan badan Hak Asasi Manusia ASEAN.")

Jadi, berdasarkan piagam ASEAN mandat komisi ini pada dasarnya ada dua: mandat promosi dan mandat proteksi. Namun ketika pasal ini diterjemahkan ke dalam TOR (Term of Reference - panduan keorganisasian) yang menjadi semacam anggaran dasar bagi badan ini, terlihat bahwa AIHCR cenderung memusatkan diri pada mandat promosi saja. AIHCR, misalnya, tidak bisa melakukan on-site visits (kunjungan ke lokasi) seperti yang umumnya bisa dilakukan oleh komisi-komisi HAM Regional lainnya di dunia. Komisi ini juga tidak bisa meminta dari negara-negara anggota tentang isu atau topik HAM tertentu. Mereka juga tidak diberi kuasa untuk memberikan pendapat tentang isu-isu HAM kecuali bila diminta oleh negara-negara anggota.

Memang, selain kelemahan mengenai mandat dan fungsi komisi ini, AIHCR masih memiliki sejumlah kelemahan lain yang mencolok. Banyak pengamat dan aktivis HAM telah menunjukkan kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Ketidakmandirian. Anggota AIHCR dipilih oleh negara anggota dan menduduki kursinya sebagai perwakilan negara. Negara-negara tersebut memegang hak untuk memanggil dan menggantikan wakilnya di AIHCR sewaktu-waktu. Ini berarti posisi di AIHCR sangat tergantung pada kebijakan negara bersangkutan.

2. Terbatasnya keterlibatan masyarakat sipil dalam AIHCR. Pasal 4.8 dari TOR AIHCR mengatakan bahwa badan ini akan melakukan dialog dan dan konsultasi dengan badan-badan ASEAN lainnya maupun juga dengan entitas-entitas yang terkait dengan ASEAN (entities associated with ASEAN). Namun entitas-entitas ini berjumlah terbatas, dan bila kita merujuk pada bab V dari Piagam ASEAN mengenai badan-badan ini dan lampiran-2 yang berisikan daftar organisasi-organisasi masyarakat sipil yang diakui ASEAN, maka jumlah organisasi yang bisa berkonsultasi dengan ASEAN tentang isu HAM hanya berjumlah kurang dari 70 buah. Ini tentunya sangat membatasi kemampuan masyarakat untuk bisa memberikan masukan terhadap perdebatan dan perkembangan isu HAM di dalam AIHCR.

3. Standarisasi norma-norma HAM. Sejak didirikan ASEAN selalu memegang teguh prinsip 'tidak campur tangan' (non-interference) dalam urusan dalam negeri negara-negara anggotanya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan negara-negara anggota ASEAN adalah bekas negara jajahan, yang membuat mereka cukup sensitif dengan upaya-upaya dari luar untuk mengontrol kebijakan dalam negeri mereka. Walaupun hal ini bisa dimengerti, prinsip 'tak campur tangan' dapat menyulitkan penerapan standar HAM yang sama di ASEAN. Hal ini bahkan disinggung dalam TOR AIHCR yang mengatakan (pasal 1.4):

to promote human rights within the regional context, bearing in mind national and regional particularities and mutual respect for different historical, cultural and religious backgrounds, and taking into account the balance between rights and responsibilities.

("mempromosikan hak asasi manusia dalam konteks regional, dengan mengingat kekhususan-kekhususan nasional dan regional dan rasa saling menghormati atas perbedaan sejarah, budaya dan agama, serta mempertimbangkan keseimbangan antara hak dan kewajiban")

Aktivis-aktivis HAM akan melihat banyak kesamaan antara kata-kata yang digunakan dalam pasal tersebut dengan sebuah dokumen yang dikeluarkan ASEAN hampir dua puluh tahun lalu menjelang kongres HAM internasional di Vienna tahun 1993. Dokumen itu, Joint Communique (Pernyataan Bersama) Menteri Luar Negeri ASEAN, pada butir 16 hingga 18 menyebut secara spesifik mengenai isu HAM. Di situ disebutkan:

...the protection and promotion of human rights in the international communicty should take cognizance of the principles of respect for national sovereignty, territorial integritiy and non-interference in the internal affairs of the states

("... perlindungan dan promosi HAM di masyarakat internasional perlu mempertimbangkan prinsip penghormatan atas kedaulatan nasional, integritas kawasan dan tanpa campur tangan dalam urusan internal negara-negara")

Dengan kata lain, negara-negara ASEAN tidak mau ditekan atau didikte dalam hal perlindungan HAM. Bila prinsip ini terus menjadi panglima, maka akan sulit bagi AIHCR untuk menjadi badan yang mampu menekan pemerintahan negara-negara ASEAN untuk mengambil langkah-langkah serius dalam memperbaiki kondisi HAM di negara masing-masing.

Jadi, itulah 4 kelemahan utama yang terlihat dari TOR AIHCR. Namun, selalu ada kemungkinan bagi badan itu sendiri untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut melalui tindakan-tindakan mereka ataupun keputusan yang mereka ambil. Hanya saja, itu akan sangat tergantung pada kesediaan politik negara-negara anggota ASEAN sendiri. Bila mereka tidak bersedia untuk memberikan ruang lebih besar bagi AIHCR untuk bergerak, maka akan sulit bagi komisi tersebut untuk memberikan dampak yang berarti bagi perlindungan HAM di Asia Tenggara.

Senin, 05 Maret 2012

Revisi KUHP Sekarang

Saya ikut mendukung tuntutan Amnesty Internasioanl kepada pemerintah Indonesia untuk mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mengikut sertakan pelarangan tindakan penyiksaan secara eksplisit, sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Sosial yang telah diratifikasi Indoensia. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara spesifik mengatur pelarangan tindak penyiksaan.

Tentu saja tindakan penyiksaan tidak sepenuhnya tidak dilarang di dalam KUHP, walaupun dalam KUHP istilah yang digunakan adalah penganiayaan. Pasal 351-358 KUHP menjabarkan berbagai jenis penganiayaan, mulai dari penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), penganiayaan biasa (351), penganiayaan biasa yang direncanakan terlebih dahulu (353), penganiayaan berat (354) dan penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu (355). Hanya saja penganiayaan yang dijabarkan dalam KUHP belum sepenuhnya mencakup apa yang dimaksud sebagai penyiksaan (torture) sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7dan 9  Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (tapi terutama pasal 7).


Salah satu kelemahan yang kerap disuarakan oleh aktivis HAM adalah pasal-pasal tersebut tidak secara spesifik mengatur tindak penganiayaan yang dilakukan oleh aparat negara, pada saat menjalankan interogasi, misalnya, atau pada saat menjatuhkan hukuman. Konvensi anti-penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 5/1998, mendefinisikan penyiksaan sebagai (saya berusaha menerjemahkannya di belakang);

...torture means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity...

(...tindakan yang menyebabkan kesakitan atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang dengan sengaja dilakukan untuk mendapatkan dari orang tersebut, atau dari pihak ketiga, informasi tertentu atau pengakuan, atau sebagai sebuah hukuman untuk suatu hal yang korban - atau pihak ketiga - lakukan, atau sebagai intimidasi, atau untuk memaksa korban atau pihak ketiga, atau untuk alasan-alasan lain yang berdasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apa pun, serta kesakitan atau penderitaan tersebut dilakukan atas sepengetahuan atau persetujuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik. )

Jadi, bila dilihat di atas, konvensi anti penyiksaan memiliki sejumlah elemen berikut: kesakitan atau penderitaan, elemen tujuan (mendapatkan informasi, pemaksaan untuk melakukan sesuatu, bentuk diskriminasi, pengakuan), dan elemen keterlibatan aparatur negara (pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik). Bila merujuk pada konvensi tersebut maka pasal-pasal penganiayaan dalam KUHP yang hanya mengatur elemen kesakitan atau penderitaan masih sangat kurang memadai.

Harapan saya adalah bila Indonesia merevisi KUHP (agar menyesuaikan dengan konvensi anti-penyiksaan) maka peristiwa-peristiwa penyiksaan dan penganiayaan yang kerap diduga dilakukan oleh polisi dan aparatur negara lainnya akan berkurang. Termasuk juga untuk mengurangi kasus-kasus pelanggaran HAM yang konon katanya sering dilakukan oleh tentara Indonesia di Papua. Saya harap ini akan terjadi tidak lama lagi.

Referensi:  http://nasional.kompas.com/read/2012/03/04/08535349/Amnesty.International.Desak.Indonesia.Revisi.KUHP