Rabu, 10 April 2013

Segera Ratifikasi Statuta Mahkamah Pidana Internasional

Indonesia perlu segera meratifikasi statuta mahkamah pidana internasional. Ini adalah salah satu langkah yang penting bagi upaya penegakan rezim HAM di negeri ini, di kawasan Asia Tenggara dan secara global. Peratifikasian ini penting antara lain karena: 

1. Ini akan memberikan legitimasi tambahan bagi sistem pengadilan Indonesia untuk mengadili para pelanggar HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum. Selain itu, ratifikasi juga mungkin dapat mendorong pemerintah Indonesia untuk semakin serius dalam pembentukan pengadilan HAM yang selama ini terus menerus tertunda. 

2. Di tingkat Asia Tenggara, peratifikasian ini diharapkan dapat berpengaruh pada komitmen-komitmen negara lain di kawasan untuk ikut menegakkan rezim HAM. Sejauh ini baru dua negara di Asia Tenggara yang telah meratifikasi Statuta Roma, yaitu Kamboja dan Filipina. Bergabungnya Indonesia mungkin akan bisa mempengaruhi negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama. Selain itu, peratifikasian Statuta Roma juga akan semakin menambah bobot komitmen ASEAN atas isu HAM, terutama mengingat ASEAN baru saja mencetuskan deklarasi HAM ASEAN pada bulan November tahun 2012 yang lalu. 

3. Di tingkat global, Indonesia akan membuktikan komitmennya, yang telah diucapkan berulangkali di berbagai forum internasional, atas penegakan rezim HAM, baik secara domestik maupun secara global. Selama Indonesia belum meratifikasi statuta Roma, komitmen itu tetap hanya berupa angin kosong yang tidak berarti. Kegagalan meratifikasi statuta Roma akan menambah panjang daftar kegagalan Indonesia dalam menjamin perlindungan HAM bagi warganya, terutama bila melihat kasus-kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang akan semakin menjatuhkan reputasi Indonesia di mata dunia internasional. 

Pemerintah Indonesia pada awalnya berencana untuk meratifikasi statuta ini pada tahun 2008, namun membatalkannya karena penolakan yang kuat dari TNI. Saat itu pemerintah menunda peratifikasian ke tahun 2013. Tapi saat ini upaya peratifikasian ini kembali menemui hambatan karena tuduhan bahwa isu peratifikasian ini adalah isu politis yang dimaksud untuk mengganjal sejumlah orang untuk maju sebagai calon presiden. Tuduhan ini mungkin tidak sepenuhnya salah. Saya sendiri merasa bahwa kalaupun itu benar, sebenarnya tidak masalah. Tidak pantas sebuah negara yang berkomitmen atas perlindungan HAM untuk memilih seorang Presiden yang memiliki sejarah kelam pelanggaran HAM. Bila ratifikasi ini bisa berfungsi untuk menjadi penyaring pertama atas calon presiden yang tak pantas, saya rasa, justru semakin menambah urgensinya.