Jumat, 27 April 2012

Siswi Hamil Tidak Boleh Ikut UN?

UN kemarin menyisakan sejumlah kontroversi. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah kontroversi dilarangnya sejumlah siswi yang sedang hamil untuk mengikuti UN. Kasus-kasus tersebut terjadi di sejumlah sekolah di kota-kota di Jawa.

Kasus ini menjadi kontroversi karena sebenarnya tidak ada pasal hukum yang secara eksplisit melarang siswi hamil untuk ikut serta dalam ujian nasional. Ujian nasional memiliki dua dasar hukum yaitu UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Namun di dalam keduanya sama sekali tidak disebutkan mengenai larangan keikutsertaan siswi yang hamil. Di lain pihak, sekolah-sekolah diperbolehkan untuk memilki tata tertibnya sendiri, dan ada sekolah-sekolah yang menggariskan bahwa siswa dan siswi yang kedapatan melakukan perbuatan asusila dan hamil tidak diperbolehkan untuk meneruskan pendidikan di sekolah tersebut. Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi sekolah-sekolah untuk melarang siswi yang kedapatan hamil untuk mengikuti UN.

Itu berarti larangan untuk siswi hamil mengikuti UN sebenarnya hanyalah bersifat lokal dan tergantung pada keputusan sekolah bersangkutan. Ini bukanlah kebijakan yang sifatnya nasional. Umumnya begitu ada pengumuman dari pemerintah daerah tentang pembolehan siswi hamil untuk ikut UN, sekolah-sekolah akan mengikuti pengumuman tersebut.

Walaupun demikian, ada sejumlah sekolah yang terus berkeras mempertahankan pendiriannya dengan menyandarkan diri pada tata tertib sekolah yang mereka susun sendiri. Akibatnya, ada sejumlah siswi yang terlanjur menjadi korban dan tidak bisa mengikuti UN.

Sejumlah pihak mengatakan bahwa kurang tepat untuk menganggap mereka sebagai 'korban'. Sebenarnya siswi-siswi ini, misalnya, masih bisa mengambil program paket C untuk bisa mendapatkan ijazah sekolah menengahnya dan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Mereka hanya tidak bisa mengikuti Ujian Nasional yang diselenggarakan saat itu. Ujian Nasional bukanlah segala-segalanya yang menentukan masa depan seseorang. Selalu ada kesempatan kedua.

Sekilas tampaknya ini adalah pembelaan yang valid. Namun itu tidak sepenuhnya benar. Para siswi ini sebenarnya telah menjadi korban; korban diskriminasi dari pihak sekolah. Mereka menjadi target hukuman (karena bagaimana pun tidak bisa mengikuti UN adalah bentuk hukuman), sementara pihak lelaki kemungkinan besar tidak perlu menanggung hukuman seberat si perempuan. Dengan demikian larangan ini adalah larangan yang sifatnya diskriminatif.

Padahal Indonesia telah meratifikasi International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights. Dalam pasal 13 Kovenan tersebut disebutkan bahwa negara berkewajiban untuk menghormati hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan tanpa halangan. Mengingat bahwa pengambilan ujian dan pendapatan ijazah adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan formal, maka pelarangan pengikutan ujian bagi siswi-siswi hamil bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran dari hak-hak para siswi ini untuk mendapatkan pendidikan.

Indonesia saat ini memang belum meratifikasi Konvensi Internasional Melawan Diskriminasi Dalam Pendidikan (konvensi UNESCO yang diadopsi pada tahun 1960). Namun demikian, Indonesia telah menjadi salah satu pihak penandatangan konvensi tersebut. Dengan demikian konvensi tersebut juga perlu disebut untuk bicara dalam konteks ini. Pasal 3 dari Konvensi tersebut mewajibkan negara untuk menghapuskan atau menghilangkan kebijakan-kebijakan atau keputusan administratif yang mengakibatkan diskriminasi dalam pendidikan. Dengan demikian, pemerintah perlu mengeluarkan keputusan yang tegas untuk membolehkan siswi-siswi yang hamil untuk mengikuti UN serta mengeluarkan larangan bagi sekolah-sekolah untuk mengambil keputusan sepihak dalam hal ini.

Saya paham bahwa sekolah-sekolah menganggap diri mereka perlu tidak hanya mengajarkan ilmu melainkan juga mengajarkan sistem moral. Hanya saja bagi saya sistem moral paling dasar yang perlu terus ditanamkan kepada para siswa kita adalah penghormatan terhadap hak-hak dasar setiap manusia, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan terlepas dari kesalahan macam apa yang telah sang siswa perbuat.

Karena pada dasarnya Hak asasi manusia kita dapatkan tanpa syarat. Itu didapatkan semata-mata hanya karena kemanusiaan kita, bukan karena apa yang telah kita perbuat atau tidak perbuat.

Selasa, 24 April 2012

Foke: Gubernur Jakarta Lagi?

Beberapa hari lalu aku menonton wawancara Fauzi Bowo dengan sebuah stasiun televisi swasta. Tampaknya wawancara itu adalah bagian dari persiapan pemilu daerah DKI Jakarta dan hari itu adalah giliran Fauzi Bowo untuk diwawancarai.

Saya merasa tertarik dengan wawancara tersebut karena di situ Fauzi Bowo menampilkan sederetan statistik yang menunjukkan meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk DKI Jakarta selama masa kepemimpinannya. Sejumlah statistik yang ia tampilkan adalah rendahnya angka kematian ibu melahirkan, tingginya angka harapan hidup (melebihi 70 tahun), dan segala macamnya. Menurut Fauzi Bowo membaiknya semua indikator ini adalah hasil dari kepemimpinannya.

Saya menunggu-nunggu para pewawancara itu untuk mengejar Fauzi Bowo lebih jauh mengenai pernyataannya tersebut. Tapi sayangnya mereka tidak melakukan itu. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi tampaknya mereka tidak ingin terlalu memojokkan Fauzi Bowo di acara itu. Mereka tidak mengecek, misalnya, apakah semua perbaikan tersebut terjadi karena inisiatif kebijakan yang dilancarkan di masa kepemimpinannya, ataukah Fauzi Bowo hanya meneruskan kebijakan-kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Klaim Fauzi Bowo tentang semakin banyaknya puskesmas di Jakarta juga tidak mereka cek dan bandingkan dengan peningkatan pembangunan puskesmas di masa-masa kepemimpinan gubernur-gubernur sebelumnya. Apakah peningkatan itu signifikan ataukah tidak banyak berbeda dengan masa-masa sebelumnya dan dengan demikian, lagi-lagi, hanya penerusan kebijakan pendahulu-pendahulu beliau?

Saya bukan ahli tentang Jakarta. Saya hanya seorang penduduk yang sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun tinggal di sini, dan dari apa yang saya alami, tampaknya Jakarta di bawah Fauzi Bowo tidak bertambah baik, seperti apa yang ia klaim. Kemacetan semakin parah, dan janji Foke untuk mengatasi kemacetan tampaknya tidak berhasil ia penuhi. Kondisi jalanan banyak yang semakin rusak, dan walaupun pembangunan BKT tampaknya berhasil menurunkan sedikit dampak banjir di Jakarta, kebijakan pembangunan BKT bukanlah inisiatif dari beliau. Selain itu, tampaknya masalah drainase di Jakarta malah semakin parah, karena setiap kali ada hujan kecil, kemacetan Jakarta akan berlipat-lipat kali parahnya, seperti yang pernah saya alami beberapa kali.

Bagi saya, Jakarta butuh gubernur baru. Orang yang bisa dan berani mengambil inisiatif. Bukan seseorang yang mengklaim keberhasilan atas kebijakan-kebijakan yang bukan berasal dari dirinya sendiri melainkan dari orang-orang lain. Saat ini saya tidak tahu siapa. Tapi sudah jelas saya tidak akan memilih Foke sebagai gubernur Jakarta.

Rabu, 18 April 2012

Menjadi Guru? Kenapa Tidak

Menganggur sungguh tidak enak rasanya.

Sudah sebulan lebih ini aku mengikuti pelatihan guru bahasa Inggris di TBI (The British Institute). Pelatihan yang kuambil ini hanya memberikan sertifikat GITE (General Instructions of Teaching English), yang konon katanya hanya merupakan langkah pertama untuk menjadi guru bahasa Inggris. Artinya kalau serius hendak menjadi guru bahasa Inggris, aku perlu mengambil sertifikasi lainnya untuk meningkatkan kualifikasiku.

Terus terang aku tidak tahu apakah aku ingin menjadi guru bahasa Inggris atau tidak. Namun dari apa yang aku dapatkan sejauh ini, tampaknya menjadi guru bahasa Inggris akan cukup menyenangkan. Pelatihan yang aku dapat sangat membuka mataku tentang dunia ajar-mengajar. Aku belajar banyak dari instruktur dan teman-teman lain yang ikut pelatihan tersebut bersamaku. Sebagian dari mereka rupanya punya pengalaman mengajar. Aku sering mengajak bicara mereka agar mereka bisa membagi pengalaman mengajar mereka.

Sekali lagi aku tidak tahua apakah nanti aku akan serius menjadi guru atau tidak. Yang jelas saat ini yang ada dalam pikiranku adalah, "Menjadi guru? Kenapa tidak?" Siapa tahu aku bisa menikmatinya nanti. Untuk sementara ini aku putuskan untuk mengikuti saja kemana arus ini akan membawaku.

Senin, 16 April 2012

Pencuri: Dipukuli?

Minggu lalu aku melihat sebuah peristiwa yang cukup mengguncangku.

Ini diawali dengan abang iparku yang hampir saja menjadi korban penyolongan. Saat itu aku sedang makan malam dengan kakakku dan suaminya di sebuah restoran yang ada di dalam sebuah mall di Jakarta Selatan. Kami saat itu sedang asik mengobrol. Kemudian tiba-tiba di tengah obrolan, seorang pelayan restoran datang ke meja kami. Ia bicara kepada suami kakak saya sambil menyerahkan sebuah tas yang ternyata merupakan milik abang iparku. Tas itu memang diletakkan abang iparku di lantai di samping kursinya duduk. Rupanya tas itu hampir dicolong oleh seseorang yang berpura-pura menjadi pengunjung restoran itu.

Kami sungguh-sungguh kaget. Aku, kakakku dan abang iparku, kami bertiga tidak menyadari sama sekali peristiwa itu. Beruntung salah seorang pelayan melihat kejadian itu dan langsung meneriaki si pelaku. Beberapa orang staf mengejar dia hingga akhirnya tertangkap. Tas abang iparku, berisikan dua laptop penuh dengan pekerjaan dia, kemudian mereka kembalikan.

Setelah tas dikembalikan, seorang petugas keamanan mall datang kepada kami dan bertanya apakah kami bersedia ikut dengan dia untuk melihat si pelaku dan juga untuk memasukan laporan pengaduan. Kami bertiga menyetujui. Kami penasaran dengan wajah si pelaku dan ingin tahu apakah kami bisa mengenali dia (bagaimana pun dia pernah lewat meja kami, walaupun kami tidak sadar). Abang iparku perlu mengajukan laporan agar para petugas keamanan bisa bertindak dan memasukkan dia ke tahanan. Jadi akhirnya kami pun pergi ke kantor petugas keamanan yang terletak di lantai paling bawah gedung mall tersebut.

Sesampainya di sana, kami akhrinya melihat si pencuri. Kami bertiga sama sekali tidak merasa pernah melihat dia. Ia duduk bersila di tengah kantor. Telanjang dada. Baju kemeja lengan panjangnya sudah dilepas dan diletakkan di atas meja kepala pengaman. Kedua tangannya diikat ke belakang. Para petugas keamanan mall mengerubungi dia dan menginterogasi dia, mencoba mencari tahu apakah dia bekerja sendirian atau tidak. Awalnya mereka hanya menanyakan pertanyaan saja. Tapi tidak berapa lama setelah kami tiba, entah kenapa perlakuan mereka terhadap si pelaku menjadi makin brutal. Seorang petugas kepala membenturkan jidatnya ke batok kepala si pelaku. Seorang yang lain menendang dia di bagian punggung. Seorang lagi menampari wajahnya. Aku dan kakakku berpandangan. Kemudian karena kami sama-sama merasa tidak tahan melihat itu, kami pun beranjak keluar dari kantor.

Namun dari luar kantor pun kami masih bisa melihat bagaiamana si pelaku diperlakukan. Kaca ke kantor cukup tembus pandang. Tampaknya ia justru diperlakukan lebih keras lagi. Ia disundut rokok, kemudian didorong ke sudut dan dijepit dengan lemari besi. Ada yang memukuli dia. Dan seterusnya.  Sepertinya perlakuannya terus bertambah parah. Ketika 10 menit kemudian abang iparku selesai memberikan laporan pencurian kepada petugas keamanan, kami pun pergi dari mall itu dengan perasaan lega.

Juga sedikit bersalah.

Terus terang perasaanku campur aduk melihat itu semua. Di satu sisi aku merasa apa yang terjadi sungguh-sungguh salah. Aku punya latar belakang HAM dan aku sungguh-sungguh merasa si pencuri tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Itu adalah pelanggaran haknya sebagai manusia. Namun di sisi lain aku tidak tahu bagaimana menghentikan penyiksaan itu. Aku merasa seperti memasuki wilayah asing yang tidak aku ketahui, dan aku ragu-ragu bagaimana mengambil tindakan yang tepat. Akhirnya aku memilih untuk diam saja  dan mengalihkan pandangan dari apa yang terjadi. Aku tidak ragu bahwa tingkat kekerasan akan makin tinggi setelah kami pergi, dan mungkin akan semakin tinggi ketika si pelaku itu diserahkan ke tangan polisi. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh si polisi terhadap si pelaku.

Sekarang kadang-kadang aku merasa bahwa aku telah bersalah. Mungkin seharusnya aku paling tidak coba bicara dengan para petugas keamanan tersebut dan mencoba membujuk mereka untuk berlaku lebih lembut dan tidak memukuli si pelaku. Entahlah. Mungkin saja tindakanku untuk diam saja saat itu sudah tepat. Aku tidak pernah benar-benar tahu.