Jumat, 29 Juni 2012

Fiksi 100 kata (2)

Satu malam sepi, aku mengadu kepada bulan tentang tingkah matahari di siang hari. Matahari kejam, kataku. Dia terlalu terik, terlalu terang, keluhku. Bulan diam saja mendengarkan ceritaku. Aku pikir ia tidak peduli, dan aku menjadi marah kepada dia. Aku teriaki bulan keras-keras. Aku ingin dia benar-benar mendengar, menghibur, dan menasihatiku. Namun ia diam terus. Aku berteriak semakin keras. Sekarang memaki-maki bulan. Bulan kau tidak peduli, kau tidak sayang, keluhku. Tak kusadari badanku membesar. Mulutku memanjang, dan gigiku menajam. Tubuhku berbulu. Tiba-tiba aku melolong. Senapan sang pemburu yang dari tadi menunggu menyalak. Peluru melesat dan menembus jantungku.

Bulan tersenyum geli melihatku.

Sabtu, 23 Juni 2012

Fiksi 100 Kata (1)

Bapak tikus punya anak tunggal. Ia baru saja lulus kuliah. Pak tikus sudah menyiapkan dana berlimpah untuk memasukkan anaknya ke posisi menjanjikan di instansi pemerintahan tikus. Bila sudah masuk ke sana, anaknya tidak perlu khawatir akan masa depannya lagi. Ia bahkan sudah menyiapkan putri tikus untuk dijadikan mempelai anaknya. Bibit, bebet, dan bobot sudah pasti terjamin.

Malam itu, pak tikus memanggil anaknya untuk mengabarkan rencananya. Di luar dugaannya, anaknya meledak marah. Ia menuduh pak tikus mencoba mengatur hidupnya. Anaknya lari keluar liang tinggal mereka. Di luar, kucing rumah menunggu. Kucing langsung menerkam anak pak tikus dan membawanya pergi untuk dimakan.

Rabu, 30 Mei 2012

Hak Asasi Manusia Bagi Penyandang Disabilitas

Saya selama ini berpikir telah memiliki bekal pemahaman yang cukup mengenai isu-isu hak asasi manusia. Saya mengambil kuliah master mengenai hak asasi manusia, dan begitu lulus, saya merasa seolah-olah saya telah memiliki izin resmi untuk berbicara (dengan tingkat kepercayaan diri tertentu) tentang isu-isu HAM.

Betapa kelirunya saya!

Tiga minggu belakangan ini saya tiba-tiba disentakkan pada kesadaran bahwa saya sebenarnya buta. Bukan sekedar buta, karena saya  sebenarnya bisa melihat, tapi saya tidak menyadari apa yang saya lihat. Saya melihat dan melaluinya setiap hari tapi saya tidak sadar bahwa banyak hal yang saya lihat dan lalui tersebut sebenarnya adalah berbagai permasalahan HAM yang serius dan mempengaruhi kehidupan banyak orang yang sebenarnya hidup di sekitarku sendiri.

Kesadaran ini saya dapat sejak mulai bekerja dengan kawan-kawan penyandang disabilitas. Cerita-cerita mereka membuat saya merasa malu karena kekurang-tahuan dan ketidakpedulian saya selama ini tentang isu-isu hak penyandang disabilitas. Pada saat yang bersamaan, semakin banyak saya mendengarkan, semakin saya mengagumi kekuatan mental, kegigihan dan daya juang mereka yang luar biasa.

Salah satu hal pertama yang saya pelajari adalah bahwa disabilitas tidak hanya sekedar memiliki makna medis, melainkan juga sosial. Sebagai istilah medis, disabilitas berarti ketidaklengkapan fungsi tubuh, misalnya bila tubuh tidak mampu menjalankan fungsi tubuhnya untuk berjalan, maka orang tersebut dikategorikan sebagai tunadaksa. Bila ia tidak mampu melihat, maka ia dianggap sebagai tunanetra, dan seterusnya.

Pengkategorian disabilitas sebagai istilah medis tentu saja penting, namun tidak kalah pentingnya adalah disabilitas sebagai sebuah isu sosial. Sebagai isu sosial, disabilitas berarti hambatan yang dialami oleh seseorang untuk memenuhi fungsi sosial dirinya yang sewajarnya. Hambatan ini tidak semata-mata muncul sebagai akibat kondisi fisik orang tersebut, melainkan juga sebagai akibat kondisi sosial. Disabilitas seorang penyandang tunanetra, misalnya, tidak hanya terjadi akibat ia tidak bisa melihat, namun juga ketika ia tidak bisa menemukan pekerjaan yang layak sebagai akibat kondisinya yang tidak bisa melihat tersebut. Disabilitas seorang tunadaksa terjadi bukan hanya ketika ia kehilangan kemampuan untuk berjalan, melainkan juga ketika ia tidak bisa melakukan perjalanan keluar rumah karena tidak ada fasilitas yang memampukan ia untuk melakukan perjalanan. Disabilitas terjadi ketika si penyandang disabilitas berupaya untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial wajarnya, namun tidak bisa karena tiadanya alat-alat yang memampukan dia untuk itu.

Itulah sebabnya dalam isu disabilitas, penyediaan sarana dan prasana menjadi sangat penting. Hanya dengan itulah maka si penyandang disabilitas dapat mengatasi hambatan fisiknya dan berfungsi dengan wajar dan bermartabat. Masalah muncul ketika sarana dan prasarana ini tidak tersedia. Bila ini terjadi, maka sebenarnya hak asasi manusia para penyandang disabilitas untuk memiliki kehidupan yang bermartabat telah terlanggar.

Inilah yang kerap terjadi di depan mata kita, hanya saja kita (mereka yang bukan penyandang disabilitas) tidak menyadarinya, atau kadang kita menyadarinya namun memilih untuk bersikap tidak acuh. Dari mulai hal yang sederhana saja, seperti sedikitnya akses ke trotoar yang lebar dan mudah dilewati oleh para pengguna kursi roda. Juga tidak disediakannya penerjemah bahasa isyarat untuk tayangan-tayangan berita televisi. Kadang masalahnya bisa sangat serius seperti misalnya diskriminasi dalam pemberian pelayanan publik seperti yang dialami oleh teman saya Ridwan ketika hendak melakukan penerbangan dengan Lion Air. Tidak kalah seriusnya adalah isu tidak terpenuhinya hak memilih-dipilih penyandang disabilitas dalam pemilu.

Para penyandang disabilitas, secara umum, adalah termasuk keseluruhan umat manusia yang hak asasi manusianya terlindungi dalam berbagai deklarasi HAM, kovenan dan perjanjian HAM. Hak mereka dilindungi secara spesifik oleh Konvensi Hak Para Penyandang Disabilitas yang diadopsi PBB pada tahun 2006, dan diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2011. Konvensi ini mengenali pentingnya untuk memberikan perlindungan yang spesifik bagi para penyandang disabilitas mengingat hambatan dan tantangan bersifat khusus yang mereka hadapi sehari-hari. Tujuannya adalah mengatasi hambatan-hambatan ini dengan mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan agar para penyandang disabilitas dapat memiliki hidup yang bermartabat sebagaimana orang-orang lain.

Tentu saja konvensi itu, dan ratifikasinya oleh Indonesia, masih merupakan langkah awal sebelum hak-hak para penyandang disabilitas bisa sepenuhnya terwujud di Indonesia. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pengarus-utamaan (mainstreaming) isu-isu yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam kesadaran publik. Dengan cara inilah diharapkan agar publik sendiri pun bisa ikut mendorong pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Sebagai penutup saya hendak mengutip salah satu bagian dari Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, dari bagian Mukadimah, yang berbunyi demikian (saya berusaha sebaik-baiknya menerjermahkan paragraf tersebut tepat di bawahnya):

Recognizing the valued existing and potential contributions made by persons with disabilities to the overall well-being and diversity of their communities, and that the promotion of the full enjoyment by persons with disabilities of their human rights and fundamental freedoms and of full participation by persons with disabilities will result in their enhanced sense of belonging and in significant advances in the human, social and economic development of society and the eradication of poverty,

"Mengenali keberadaan yang berharga dan kontribusi potensial yang bisa diberikan oleh para penyandang disabilitas terhadap kesejahteraan umum dan keberagaman komunitas mereka, dan bahwa pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas dan kebebasan fundamental mereka serta partisipasi penuh para penyandang disabilitas akan memperkuat rasa kepemilikan mereka dan mendorong kemajuan-kemajuan signifikan dalam pembangunan kemanusiaan, sosial dan ekonomi masyarakat dan penghapusan kemiskinan."

Ya. Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan.

Hak Penyandang Disabilitas Dalam Pemilu

Pemilihan Umum adalah salah satu momen paling penting dalam kehidupan demokrasi. Pemilu adalah saat dimana seorang warga negara (yang dianggap dewasa dan mampu bertanggung jawab) dapat mengekspresikan salah satu haknya yang paling fundamental, yaitu hak untuk memilih dan dipilih. Ini adalah saat dimana semua orang memiliki kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan publik pemerintahannya dengan cara memilih orang-orang yang dianggap dapat mewakili kepentingan sang warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Pemilu demikian pentingnya, sehingga tanpanya demokrasi dapat dipastikan akan mati.

Itulah sebabnya hak untuk memilih dan dipilih – di negara mana pun yang menganggap dirinya sebagai demokrasi – adalah salah satu hak paling dasar yang diberikan oleh negara kepada warganya. Hak ini adalah hak yang melekat kepada kewarganegaraan seseorang. Bahkan, karena begitu tak terpisahkannya antara konsep kewarganegaraan dan hak memilih-dipilih, bisa dikatakan bahwa konsep kewarganegaraan dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk memilih dan dipilih di dalam pemilu.

Hak memilih-dipilih juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ini dianggap sebagai bagian dari hak untuk berekspresi dan berpendapat, dan juga hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam Deklarasi Universal HAM, hak ini dilindungi dalam pasal 18, 19 dan 21. Sedangkan dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, hak ini dilindungi oleh pasal 18, 19 dan 25. Kewajiban untuk melindungi dan menghormati hak-hak ini dibebankan kepada negara, dan perlindungan harus diberikan kepada semua orang tanpa terkecuali. Indonesia adala pihak penandatangan Deklarasi HAM, dan telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, dengan demikian Indonesia pun memiliki kewajiban ini.

Hanya saja, dalam prakteknya, ada kelompok-kelompok warga negara yang hak untuk memilih-dipilihnya terabaikan dan tidak terpenuhi. Hal ini bisa terjadi karena berbagai hal, seperti misalnya diskriminasi rasial, religius, kultural, ekonomi dan lain-lain. Salah satunya adalah orang-orang penyandang disabilitas.

Hak penyandang disabilitas untuk bisa berpartisipasi dalam pemilu sebenarnya telah dilindungi oleh berbagai kovenan hukum internasional. Selain pasal-pasal yang telah disebut di atas, para penyandang disabilitas juga dilindungi oleh Konvensi Mengenai Hak-hak Para Penyandang Disabilitas (2006). Pasal 29 dalam konvensi ini mengatur perlindungan atas hak untuk memilih-dipilih. Pasal 29 juga mengatur agar negara mengambil kebijakan-kebijakan untuk memastikan para penyandang disabilitas bisa memenuhi haknya tanpa menemui hambatan. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini tahun 2011 yang lalu, sehingga pemerintah kita pun terikat pada kewajiban ini.

Sebenarnya sebelum Indonesia meratifikasi konvensi tersebut, panitia pemilu (dalam hal ini KPU), baik lokal maupun nasional telah mengeluarkan sejumlah peraturan teknis tertentu yang tujuannya untuk memastikan pemilu dapat diakses oleh para penyandang disabilitas. Contoh peraturan seperti itu misalnya peraturan yang mengharuskan agar pintu masuk TPS harus minimal selebar 90cm dengan tujuan agar pengguna kursi roda bisa memasuki TPS. TPS juga tidak boleh diletakkan di tempat yang berbatu-batu, berumput tebal, atau menaiki tangga dan sebagainya agar dapat diakses dengan mudah oleh pengguna kursi roda. Ada juga peraturan yang membolehkan orang-orang dengan hambatan fisik untuk meminta bantuan seorang asisten pada saat hendak memilih di bilik suara. Semua peraturan ini memang ditujukan untuk menjamin hak memilih-dipilih para penyandang disabilitas tidak terganggu.

Hanya saja, masih banyak hal yang bisa dibenahi agar penyelenggaraan pemilu dapat menjadi semakin ramah bagi para penyandang disabilitas. Misalnya, dalam penyusunan daftar pemilih, KPU perlu mengumpulkan data penyandang disabilitas secara seakurat mungkin, dengan menyebutkan lokasi tempat mereka akan memilih dan jenis disabilitas yang mereka sandang, sehingga dapat memudahkan Panitia Pemungutan Suara setempat untuk mengambil langkah-langkah antisipasi.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya dilakukan adalah melakukan sosialisasi tentang pemilu yang bertopik khusus tentang para penyandang disabilitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa seringkali hambatan utama para penyandang disabilitas untuk mewujudkan hak politiknya dalam pemilu berasal dari lingkungan terdekat sendiri, misalnya keluarga. Kadang-kadang justru para anggota keluarga sendiri yang menghalangi para penyandang disabilitas untuk memilih dalam pemilu karena berbagai alasan, misalnya malu atau semata-mata tidak sadar bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Itulah sebabnya perlu dilakukan kampanye pendidikan publik untuk mengatasi masalah ini.

Isu hambatan pemenuhan hak politik penyandang disabilitas adalah isu yang penting untuk ditangani segera. Pertama, tentu saja karena ini merupakan salah satu hak asasi manusia yang penting. Kedua, karena diharapkan melalui pemenuhan akses atas pemilu bagi para penyandang disabilitas, maka bisa mulai menggulirkan diskusi tentang masih kurang terpenuhinya hak-hak para penyandang disabilitas dalam berbagai segi kehidupan lainnya. Ini bisa dianggap sebagai langkah pertama dari serangkaian langkah panjang lainnya dalam rangka mencapai kesetaraan dan kesederajatan para penyandang disabilitas sebagai warga negara yang bermartabat dan utuh.

Senin, 21 Mei 2012

Akhirnya!

Dua minggu lalu akhirnya aku mendapatkan pekerjaan.  Aku diterima sebagai Program Officer di IFES (International Foundation for Electoral System). Aku ditugasi untuk membantu dalam salah satu proyek mereka, AGENDA (ASEAN General Election Network for Disability Access).

IFES adalah sebuah LSM internasional yang berkantor pusat di Washington DC. Didirikan pada tahun 1987, saat ini IFES telah memiliki sekitar 35 kantor di lebih dari 30 negara, termasuk di Indonesia (paling tidak ini menurut penjelasan bosku. Aku tidak bisa mengkonfirmasi ini di situs IFES). Di Indonesia sendiri, IFES telah mulai beropasi sejak tahun 1998.

Tujuan utama IFES adalah memberikan bantuan dalam segala hal yang terkait dengan Pemilu.Tujuan akhirnya adalah untuk mempromosikan pemerintahan yang demokratis, dengan anggapan bahwa Pemilu  yang terlaksana dengan baik akan menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan responsif terhadap kepentingan masyarakat.

Proyek yang akan aku tangani berkaitan dengan akses Pemilu penyandang disabilitas di negara-negara Asia Tenggara. Proyek ini dinamai AGENDA, dan merupakan kolaborasi antara IFES dengan sejumlah LSM lain yang bergerak dalam bidang pengawasan Pemilu serta hak-hak penyandang cacat. LSM-LSM yang menjadi partner IFES antara lain PPUA Penca (Pusat Pemilu untuk Akses Penyandang Cacat), PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), dan JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat). Pendanaan didapatkan IFES melalui dana bantuan USAID.

AGENDA bertujuan untuk mendorong terlaksananya Pemilu yang terbuka bagi para penyandang disabilitas di Asia Tenggara. Kenyataan yang terjadi selama ini adalah penyelenggaraan PEMILU seringkali tidak mempertimbangkan keberadaan para pemilih yang memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik. Akhirnya seringkali hak-hak para penyandang disabilitas ini dalam Pemilu menjadi terabaikan dan tidak terpenuhi. Ada banyak penyebab mengapa ini bisa terjadi, mulai dari sosial-politik hingga kultural . AGENDA berharap agar hambatan-hambatan ini bisa teratasi sehingga hak-hak mereka menjadi terlindungi.

Aku harus mengakui bahwa pemahamanku tentang hak-hak penyandang cacat masih sama sekali minim (hal yang aku katakan dengan terus terang pada saat wawancara). Namun aku punya sedikit pemahaman tentang HAM dan juga tentang Pemilu. Selain itu aku juga punya pengalaman mengelola program bantuan. Itulah mungkin alasan-alasan mengapa aku diterima.

Aku sendiri bertekad  akan belajar dengan keras untuk memahami tentang hak-hak penyandang disabilitas. Mungkin suatu saat aku akan membuat tulisan tentang hal itu dan meletakkannya di sini.

Semoga aku bisa melakukan tugas-tugasku dengan baik.

Untuk informasi-informasi tentang program IFES silahkan lihat: http://www.ifes.org/About/Who-We-Are.aspx


Untuk informasi mengenai AGENDA, silahkan lihat: http://www2.agendaasia.org/index.php?lang=en


Minggu, 13 Mei 2012

Sudah Demokratiskah Indonesia?

Membaca berita-berita tentang pelarangan diskusi buku Irshad Manji di UGM membuatku bertanya-tanya tentang kondisi demokrasi di Indonesia. Indonesia selama ini membanggakan dirinya sebagai sebuah negara demokrasi, namun berbagai kejadian akhir-akhir ini membuatku mempertanyakan tentang esensi demokrasi di Indonesia.

Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan. Definisi tentang demokrasi yang paling melekat di kepalaku adalah definisi yang dahulu kudapat di bangku sekolah pada jaman Orde Baru. Definisi itu adalah demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Belakangan aku baru tahu bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Abraham Lincoln, tapi hingga sekarang ini adalah kata-kata yang pertama kali kuingat kalau bicara tentang demokrasi.

Kata 'demokrasi' sendiri, secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani yang artinya 'kekuasaan rakyat', atau 'kedaulatan rakyat'. Ada sebuah frase berbahasa latin yang juga berhubungan dengan ini, “Vox Populi Vox Dei” (suara rakyat, suara Tuhan). Demokrasi mendasarkan legitimasinya kepada mandat yang diberikan oleh rakyat. Keinginan rakyatlah yang menentukan ke arah mana kebijakan publik akan dijalankan. Dalam pemerintahan demokratis, suara rakyat adalah absolut, sehingga ia seolah-olah menjadi suara Tuhan.

Rakyat adalah keseluruhan warga yang tinggal di suatu unit politik tertentu. Permasalahannya adalah suara rakyat tidak pernah satu Dalam suatu masyarakat yang besar dan beragam, maka sulit sekali untuk membuat seluruh warga untuk bersepakat dalam hal apa pun. Inilah yang menyebabkan sistem demokrasi yang murni menjadi sulit untuk terwujud. Demokrasi pun berubah pengertiannya menjadi bukan lagi pemerintahan oleh rakyat, tetapi lebih tepatnya sebagai sebuah sistem pemerintahan oleh mayoritas.

Tentu saja pemerintahan oleh mayoritas rakyat pun secara praktis tetap tidak memungkinkan. Itulah sebabnya diciptakan mekanisme perwakilan, dimana rakyat bisa memilih wakil-wakil untuk memerintah atas nama mereka. Oleh karena itu mungkin definisi demokrasi yang cukup tepat adalah pemerintahan oleh mayoritas melalui perwakilan-pewakilan.

Bila kita melihat definisi demokrasi yang sedemikian, maka tampaknya Indonesia sudah menjadi negara yang cukup demokratis. Kita punya parlemen yang berfungsi untuk menjadi penyeimbang dan pengecek kekuasaan presiden. Kita punya lembaga kehakiman yang bisa berfungsi menjadi penengah bila terjadi konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif. Kita juga punya pemilu, yang fungsinya tidak hanya untuk memastikan terjadinya rotasi kekuasaan, melainkan juga untuk memastikan bahwa suara mayoritas akan menjadi penentu utama pertimbangan kebijakan-kebijakan publik.

Kita tidak hanya memiliki institusi-institusi resmi yang demokratis. Kita juga mengenali model-model penyampaian pendapat di luar jalur resmi, misalkan melalui jalur demonstrasi. Demonstrasi diakui dan dilindungi oleh hukum di Indonesia sebagai cara yang sah untuk menyampaikan pendapat. Demonstrasi juga adalah sarana 'unjuk kekuatan', sebuah alat yang kerap dipakai oleh berbagai kelompok 'masyarakat' atau 'rakyat' untuk menahbiskan bahwa opini yang mereka usung sebagai opini 'mayoritas'.

Semua institusi dan alat-alat tersebut adalah alat-alat demokrasi, dan semuanya dapat digunakan untuk memastikan bahwa suara mayoritas akan didengarkan. Semua institusi tersebut berfungsi dan dilindungi di Indonesia. Dengan demikian, tampaknya bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara demokratis.

Sayangnya, demokrasi sebenarnya bukanlah melulu mengenai suara mayoritas. Bila benar demokrasi hanya mengikuti suara mayoritas, maka demokrasi menjadi tidak berbeda dengan sistem pemerintahan tirani. Bedanya hanya bahwa dalam demokrasi, tirani dipraktekkan oleh mayoritas. Demokrasi tidaklah seperti ini. Ia memiliki satu nilai esensial lain yang tidak kalah pentingnya dengan pemerintahan melalui suara terbanyak. Apakah nilai esensial itu?

Nilai esensial yang sangat penting bagi demokrasi adalah perlindungan atas hak asasi manusia. Sejarah menunjukkan bahwa demokrasi berkembang berdampingan dengan perkembangan konsep hak asasi-manusia. Kedua konsep itu tidak berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling bertaut dan mempengaruhi pemahaman tentang satu sama lain.

Bila kita melihat sejarah, ada sejumlah gerakan-gerakan sosial yang ikut berpengaruh terhadap baik konsep demokrasi maupun HAM. Gerakan anti perbudakan, misalnya, berhasil memberikan seperangkat hak-hak sipil dan politik yang tadinya hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kulit putih menjadi bisa juga dinikmati oleh orang-orang kulit berwarna. Hak-hak sipil dan politik yang diberikan kepada kaum kulit berwarna antara lain adalah hak untuk memberikan suara dalam pemilu, untuk diangkat sebagai pejabat pemerintahan, untuk mendapatkan pendidikan, dan lain sebagainya. Semua hak ini memungkinkan orang-orang kulit berwarna untuk ikut berpartisipasi dalam sistem yang demokratis. Berbagai gerakan sosial itu berhasil membuat isu HAM menjadi isu yang sentral dalam pemerintahan yang demokratis.

Penting untuk diingat juga bahwa semua gerakan-gerakan sosial itu relatif berhasil mencapai tujuannya karena sistem yang relatif demokratis. Dalam sistem yang demokratis, setiap orang memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya dan tidak perlu takut akan tindak kekerasan dari lawan bicaranya karena ia punya hak untuk dilindungi. Dialog dan perubahan secara relatif damai menjadi mungkin terjadi. Itulah sebabnya demokrasi menjadi alat yang sangat penting bagi perluasan dan penambahan HAM. Juga ini menunjukkan bahwa salah satu karakter demokrasi adalah ia mampu melebarkan sayap perlindungannya terhadap mereka yang sebelumnya tidak terlindungi. Demokrasi adalah sistem yang mampu memberikan suara kepada mereka yang sebelumnya tidak bersuara (to give voice to the voiceless).

Bila melihat demokrasi dari kacamata seperti ini, maka saya harus katakan bahwa Indonesia tampaknya masih belum demokratis. Ketika orang tidak bisa mengutarakan pendapatnya secara bebas tanpa merasa takut, maka itu artinya demokrasi kita belum bekerja secara sepenuhnya. Ketika perlindungan atas hak-hak kita untuk beropini dilecehkan dan diinjak-injak tanpa ada upaya dari negara untuk menjaganya, maka itu artinya demokrasi kita tidak berjalan. Ketika kekerasan masih menjadi cara komunikasi utama dan opini dipaksakan, maka yang kita punya saat ini hanyalah tirani mayoritas.

Rabu, 02 Mei 2012

Hak Untuk Tidak Beragama

Apakah hak untuk tidak beragama dikenali dalam hukum HAM internasional? Hingga saat ini memang tidak ada satu pun perjanjian internasional yang secara eksplisit memberikan perlindungan terhadap para atheis. Bahkan kata 'atheisme' tidak sekali pun disebut dalam pasal-pasal konvensi Hak Asasi Manusia internasional mana pun, berbeda dengan kata 'agama' dan 'kepercayaan'. Namun, ini tidak berarti atheisme tidak dilindungi oleh konvensi-konvensi HAM internasional.

Hak untuk tidak beragama pada dasarnya tetap dilindungi dalam konvensi-konvensi ini. Ada dua jalur untuk perlindungan tersebut. Pertama, pada dasarnya atheisme dapat dikelompokkan sebagai sebentuk kepercayaan. Oleh karena itu, pasal-pasal yang memberikan perlindungan terhadap para penganut agama dan kepercayaan juga dapat diaplikasikan terhadap para penganut atheisme. Kedua, atheisme juga dapat dipandang sebagai satu bentuk kebebasan berpikir (freedom of thought), dan hak kebebasan berpikir telah diatur secara eksplisit di dalam berbagai konvensi internasional tersebut.

Dengan demikian, pasal 18 dari ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang berbicara tentang perlindungan bagi kebebasan berpikir dan beragama dapat diartikan sebagai juga memberikan perlindungan bagi kaum atheis, bahkan walaupun kata-kata 'atheisme' sama sekali tidak disebutkan di dalam pasal tersebut. Begitu pula pasal 2 ayat (2) dari ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang berbicara tentang perlindungan dari  diskriminasi rasial, warna kulit, jenis kelamin, dan lain-lain (termasuk agama), juga memberikan perlindungan bagi atheisme, bahkan walaupun kata 'atheisme' tidak disebutkan di dalam pasal tersebut.

Bagaimana dengan perlindungan atas hak untuk tidak beragama di Indonesia?

Sekilas tampaknya atheisme tidak memiliki tempat di Indonesia. Pertama, karena ada penolakan secara sosial. Kedua, penolakan secara legal-formal.

Secara sosial, mayoritas masyarakat Indonesia memeluk salah satu dari 6 agama resmi yang diakui pemerintah atau salah satu dari aliran-aliran kepercayaan tradisional. Orang Indonesia umumnya memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap agama atau aliran kepercayaan berbeda karena umumnya mereka memandang bahwa 'pada dasarnya Tuhan yang dipercaya tetap sama, hanya cara untuk mencapaiNya berbeda'. Filosofi seperti ini mampu membantu menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Hanya saja, filosofi inilah juga yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lebih resisten terhadap paham atheisme. Bahkan bukan hanya resisten, melainkan terang-terangan menolak, yang kemudian mengarah kepada tindak kekerasan terhadap orang-orang yang mengaku dirinya sebagai atheis.

Penolakan secara sosial kemudian ditambah juga dengan penolakan atheisme secara legal formal. Semua orang di Indonesia tahu bahwa sila pertama dari dasar negara Indonesia berbunyi “Ketuhanan yang maha esa”. Ini kemudian diperkuat lagi dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Kebanyakan orang menafsirkan sila ini sebagai kewajiban bagi seluruh warga Indonesia untuk memiliki Tuhan untuk diimani. Bila tidak bisa memiliki Tuhan, maka orang tersebut akan dianggap tidak memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan oleh demikian bisa dihukum, atau bahkan tidak lagi dianggap sebagai warga negara.

Lebih jauh lagi, bahkan walaupun atheisme tidak secara eksplisit dilarang oleh hukum, namun ada pasal-pasal hukum yang mengkriminalkan penghinaan terhadap agama. Ada sejumlah pandangan yang mengatakan bahwa paham atheisme – terutama bila ada upaya menyebar luaskan – merupakan tindakan penghinaan terhadap agama, sehingga dengan demikian dapat dipidanakan. Perlindungan dari penghinaan atas agama, dalam hukum di Indonesia, diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kemudian ada juga pasal 165a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bunyinya:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a.   Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b.   Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ayat (b) di atas, dapat diartikan sebagai sebuah larangan untuk menyebarkan paham atheisme di Indonesia, walaupun tidak secara eksplisit melarang orang untuk tidak beragama.

Kasus Alexander Aan, seorang PNS di Sumatera Barat, yang mengumumkan dirinya sebagai seorang atheis di facebook, merupakan contoh yang sangat baik untuk mengilustrasikan dua jenis penolakan tersebut.  Alexander diamuk massa setelah berita tentang dirinya yang menganut atheisme tersebar, dan kemudian ia dibawa ke kantor polisi dan didakwa dengan pasal 165a KUHP di atas, dengan ancaman pidana 5 tahun penjara. Kasusnya masih dalam proses hukum.

Apakah hak untuk tidak beragama sebaiknya dikenali oleh hukum di Indonesia? Bagi saya jawabannya adalah iya. Ada dua alasan.

Pertama, karena hak untuk tidak beragama adalah sisi lain dari koin yang sama dari hak untuk beragama. Ini karena melekat dalam hak untuk beragama adalah elemen 'kerelaan' artinya setiap orang memeluk agama secara sukarela dan bukan karena dipaksa. Elemen kerelaan ini bahkan bisa dilihat pada butir ke-7 pengamalan sila pertama Pancasila, yang bunyinya:  “Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.” Karena agama tidak bisa dipaksakan, maka kita bisa menarik kesimpulan lebih jauh bahwa bila seseorang tidak ingin beragama maka kita tidak bisa memaksa dia untuk merubah pendiriannya tersebut. Bila agama diwajibkan maka itu sebenarnya sudah melanggar esensi paling utama dari hak beragama itu sendiri.

Kedua, karena hak untuk tidak beragama juga merupakan bagian dari hak untuk bersikap dan berpendapat (freedom of opinion and conscience). Hak ini adalah salah satu hak yang dianggap bersifat absolut dan non-derogable (artinya tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, bahkan tidak boleh dikurangi dalam kondisi darurat). Tentu saja, hak ini memiliki batasan-batasan, misalnya pelaksanaan hak ini tidak boleh sampai mengganggu ketertiban umum. Pandangan inilah yang seringkali digunakan untuk menghalang-halangi atheisme di Indonesia, yaitu karena dianggap dapat meresahkan masyarakat. Hanya saja ketertiban umum adalah sesuatu yang relatif dan sangat tergantung kepada penyikapan pemerintah sendiri. Bila pemerintah memilih untuk tidak memberikan kepastian perlindungan hukum terhadap mereka yang memilih untuk tidak beragama, misalnya, tentu saja ini akan berkontribusi meningkatkan keresahan publik.

Jadi, itulah dua alasan saya mengapa hak untuk tidak beragama sebaiknya dikenali dan dilindungi secara hukum di Indonesia: yaitu karena itu sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari hak beragama, dan karena itu adalah bagian dari hak untuk bersikap dan berpendapat. Selain itu, pengenalan terhadap hak ini juga penting sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban internasional Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi ICCPR dan ICESCR. Seperti telah saya jelaskan di atas, walaupun atheisme tidak disebutkan secara eksplisit dalam dua instrumen internasional tersebut, namun secara implisit perlindungan terhadap hak ini sebenarnya telah terkandung  di dalam keduanya.


Jumat, 27 April 2012

Siswi Hamil Tidak Boleh Ikut UN?

UN kemarin menyisakan sejumlah kontroversi. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah kontroversi dilarangnya sejumlah siswi yang sedang hamil untuk mengikuti UN. Kasus-kasus tersebut terjadi di sejumlah sekolah di kota-kota di Jawa.

Kasus ini menjadi kontroversi karena sebenarnya tidak ada pasal hukum yang secara eksplisit melarang siswi hamil untuk ikut serta dalam ujian nasional. Ujian nasional memiliki dua dasar hukum yaitu UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Namun di dalam keduanya sama sekali tidak disebutkan mengenai larangan keikutsertaan siswi yang hamil. Di lain pihak, sekolah-sekolah diperbolehkan untuk memilki tata tertibnya sendiri, dan ada sekolah-sekolah yang menggariskan bahwa siswa dan siswi yang kedapatan melakukan perbuatan asusila dan hamil tidak diperbolehkan untuk meneruskan pendidikan di sekolah tersebut. Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi sekolah-sekolah untuk melarang siswi yang kedapatan hamil untuk mengikuti UN.

Itu berarti larangan untuk siswi hamil mengikuti UN sebenarnya hanyalah bersifat lokal dan tergantung pada keputusan sekolah bersangkutan. Ini bukanlah kebijakan yang sifatnya nasional. Umumnya begitu ada pengumuman dari pemerintah daerah tentang pembolehan siswi hamil untuk ikut UN, sekolah-sekolah akan mengikuti pengumuman tersebut.

Walaupun demikian, ada sejumlah sekolah yang terus berkeras mempertahankan pendiriannya dengan menyandarkan diri pada tata tertib sekolah yang mereka susun sendiri. Akibatnya, ada sejumlah siswi yang terlanjur menjadi korban dan tidak bisa mengikuti UN.

Sejumlah pihak mengatakan bahwa kurang tepat untuk menganggap mereka sebagai 'korban'. Sebenarnya siswi-siswi ini, misalnya, masih bisa mengambil program paket C untuk bisa mendapatkan ijazah sekolah menengahnya dan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Mereka hanya tidak bisa mengikuti Ujian Nasional yang diselenggarakan saat itu. Ujian Nasional bukanlah segala-segalanya yang menentukan masa depan seseorang. Selalu ada kesempatan kedua.

Sekilas tampaknya ini adalah pembelaan yang valid. Namun itu tidak sepenuhnya benar. Para siswi ini sebenarnya telah menjadi korban; korban diskriminasi dari pihak sekolah. Mereka menjadi target hukuman (karena bagaimana pun tidak bisa mengikuti UN adalah bentuk hukuman), sementara pihak lelaki kemungkinan besar tidak perlu menanggung hukuman seberat si perempuan. Dengan demikian larangan ini adalah larangan yang sifatnya diskriminatif.

Padahal Indonesia telah meratifikasi International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights. Dalam pasal 13 Kovenan tersebut disebutkan bahwa negara berkewajiban untuk menghormati hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan tanpa halangan. Mengingat bahwa pengambilan ujian dan pendapatan ijazah adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan formal, maka pelarangan pengikutan ujian bagi siswi-siswi hamil bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran dari hak-hak para siswi ini untuk mendapatkan pendidikan.

Indonesia saat ini memang belum meratifikasi Konvensi Internasional Melawan Diskriminasi Dalam Pendidikan (konvensi UNESCO yang diadopsi pada tahun 1960). Namun demikian, Indonesia telah menjadi salah satu pihak penandatangan konvensi tersebut. Dengan demikian konvensi tersebut juga perlu disebut untuk bicara dalam konteks ini. Pasal 3 dari Konvensi tersebut mewajibkan negara untuk menghapuskan atau menghilangkan kebijakan-kebijakan atau keputusan administratif yang mengakibatkan diskriminasi dalam pendidikan. Dengan demikian, pemerintah perlu mengeluarkan keputusan yang tegas untuk membolehkan siswi-siswi yang hamil untuk mengikuti UN serta mengeluarkan larangan bagi sekolah-sekolah untuk mengambil keputusan sepihak dalam hal ini.

Saya paham bahwa sekolah-sekolah menganggap diri mereka perlu tidak hanya mengajarkan ilmu melainkan juga mengajarkan sistem moral. Hanya saja bagi saya sistem moral paling dasar yang perlu terus ditanamkan kepada para siswa kita adalah penghormatan terhadap hak-hak dasar setiap manusia, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan terlepas dari kesalahan macam apa yang telah sang siswa perbuat.

Karena pada dasarnya Hak asasi manusia kita dapatkan tanpa syarat. Itu didapatkan semata-mata hanya karena kemanusiaan kita, bukan karena apa yang telah kita perbuat atau tidak perbuat.

Selasa, 24 April 2012

Foke: Gubernur Jakarta Lagi?

Beberapa hari lalu aku menonton wawancara Fauzi Bowo dengan sebuah stasiun televisi swasta. Tampaknya wawancara itu adalah bagian dari persiapan pemilu daerah DKI Jakarta dan hari itu adalah giliran Fauzi Bowo untuk diwawancarai.

Saya merasa tertarik dengan wawancara tersebut karena di situ Fauzi Bowo menampilkan sederetan statistik yang menunjukkan meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk DKI Jakarta selama masa kepemimpinannya. Sejumlah statistik yang ia tampilkan adalah rendahnya angka kematian ibu melahirkan, tingginya angka harapan hidup (melebihi 70 tahun), dan segala macamnya. Menurut Fauzi Bowo membaiknya semua indikator ini adalah hasil dari kepemimpinannya.

Saya menunggu-nunggu para pewawancara itu untuk mengejar Fauzi Bowo lebih jauh mengenai pernyataannya tersebut. Tapi sayangnya mereka tidak melakukan itu. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi tampaknya mereka tidak ingin terlalu memojokkan Fauzi Bowo di acara itu. Mereka tidak mengecek, misalnya, apakah semua perbaikan tersebut terjadi karena inisiatif kebijakan yang dilancarkan di masa kepemimpinannya, ataukah Fauzi Bowo hanya meneruskan kebijakan-kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Klaim Fauzi Bowo tentang semakin banyaknya puskesmas di Jakarta juga tidak mereka cek dan bandingkan dengan peningkatan pembangunan puskesmas di masa-masa kepemimpinan gubernur-gubernur sebelumnya. Apakah peningkatan itu signifikan ataukah tidak banyak berbeda dengan masa-masa sebelumnya dan dengan demikian, lagi-lagi, hanya penerusan kebijakan pendahulu-pendahulu beliau?

Saya bukan ahli tentang Jakarta. Saya hanya seorang penduduk yang sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun tinggal di sini, dan dari apa yang saya alami, tampaknya Jakarta di bawah Fauzi Bowo tidak bertambah baik, seperti apa yang ia klaim. Kemacetan semakin parah, dan janji Foke untuk mengatasi kemacetan tampaknya tidak berhasil ia penuhi. Kondisi jalanan banyak yang semakin rusak, dan walaupun pembangunan BKT tampaknya berhasil menurunkan sedikit dampak banjir di Jakarta, kebijakan pembangunan BKT bukanlah inisiatif dari beliau. Selain itu, tampaknya masalah drainase di Jakarta malah semakin parah, karena setiap kali ada hujan kecil, kemacetan Jakarta akan berlipat-lipat kali parahnya, seperti yang pernah saya alami beberapa kali.

Bagi saya, Jakarta butuh gubernur baru. Orang yang bisa dan berani mengambil inisiatif. Bukan seseorang yang mengklaim keberhasilan atas kebijakan-kebijakan yang bukan berasal dari dirinya sendiri melainkan dari orang-orang lain. Saat ini saya tidak tahu siapa. Tapi sudah jelas saya tidak akan memilih Foke sebagai gubernur Jakarta.

Rabu, 18 April 2012

Menjadi Guru? Kenapa Tidak

Menganggur sungguh tidak enak rasanya.

Sudah sebulan lebih ini aku mengikuti pelatihan guru bahasa Inggris di TBI (The British Institute). Pelatihan yang kuambil ini hanya memberikan sertifikat GITE (General Instructions of Teaching English), yang konon katanya hanya merupakan langkah pertama untuk menjadi guru bahasa Inggris. Artinya kalau serius hendak menjadi guru bahasa Inggris, aku perlu mengambil sertifikasi lainnya untuk meningkatkan kualifikasiku.

Terus terang aku tidak tahu apakah aku ingin menjadi guru bahasa Inggris atau tidak. Namun dari apa yang aku dapatkan sejauh ini, tampaknya menjadi guru bahasa Inggris akan cukup menyenangkan. Pelatihan yang aku dapat sangat membuka mataku tentang dunia ajar-mengajar. Aku belajar banyak dari instruktur dan teman-teman lain yang ikut pelatihan tersebut bersamaku. Sebagian dari mereka rupanya punya pengalaman mengajar. Aku sering mengajak bicara mereka agar mereka bisa membagi pengalaman mengajar mereka.

Sekali lagi aku tidak tahua apakah nanti aku akan serius menjadi guru atau tidak. Yang jelas saat ini yang ada dalam pikiranku adalah, "Menjadi guru? Kenapa tidak?" Siapa tahu aku bisa menikmatinya nanti. Untuk sementara ini aku putuskan untuk mengikuti saja kemana arus ini akan membawaku.

Senin, 16 April 2012

Pencuri: Dipukuli?

Minggu lalu aku melihat sebuah peristiwa yang cukup mengguncangku.

Ini diawali dengan abang iparku yang hampir saja menjadi korban penyolongan. Saat itu aku sedang makan malam dengan kakakku dan suaminya di sebuah restoran yang ada di dalam sebuah mall di Jakarta Selatan. Kami saat itu sedang asik mengobrol. Kemudian tiba-tiba di tengah obrolan, seorang pelayan restoran datang ke meja kami. Ia bicara kepada suami kakak saya sambil menyerahkan sebuah tas yang ternyata merupakan milik abang iparku. Tas itu memang diletakkan abang iparku di lantai di samping kursinya duduk. Rupanya tas itu hampir dicolong oleh seseorang yang berpura-pura menjadi pengunjung restoran itu.

Kami sungguh-sungguh kaget. Aku, kakakku dan abang iparku, kami bertiga tidak menyadari sama sekali peristiwa itu. Beruntung salah seorang pelayan melihat kejadian itu dan langsung meneriaki si pelaku. Beberapa orang staf mengejar dia hingga akhirnya tertangkap. Tas abang iparku, berisikan dua laptop penuh dengan pekerjaan dia, kemudian mereka kembalikan.

Setelah tas dikembalikan, seorang petugas keamanan mall datang kepada kami dan bertanya apakah kami bersedia ikut dengan dia untuk melihat si pelaku dan juga untuk memasukan laporan pengaduan. Kami bertiga menyetujui. Kami penasaran dengan wajah si pelaku dan ingin tahu apakah kami bisa mengenali dia (bagaimana pun dia pernah lewat meja kami, walaupun kami tidak sadar). Abang iparku perlu mengajukan laporan agar para petugas keamanan bisa bertindak dan memasukkan dia ke tahanan. Jadi akhirnya kami pun pergi ke kantor petugas keamanan yang terletak di lantai paling bawah gedung mall tersebut.

Sesampainya di sana, kami akhrinya melihat si pencuri. Kami bertiga sama sekali tidak merasa pernah melihat dia. Ia duduk bersila di tengah kantor. Telanjang dada. Baju kemeja lengan panjangnya sudah dilepas dan diletakkan di atas meja kepala pengaman. Kedua tangannya diikat ke belakang. Para petugas keamanan mall mengerubungi dia dan menginterogasi dia, mencoba mencari tahu apakah dia bekerja sendirian atau tidak. Awalnya mereka hanya menanyakan pertanyaan saja. Tapi tidak berapa lama setelah kami tiba, entah kenapa perlakuan mereka terhadap si pelaku menjadi makin brutal. Seorang petugas kepala membenturkan jidatnya ke batok kepala si pelaku. Seorang yang lain menendang dia di bagian punggung. Seorang lagi menampari wajahnya. Aku dan kakakku berpandangan. Kemudian karena kami sama-sama merasa tidak tahan melihat itu, kami pun beranjak keluar dari kantor.

Namun dari luar kantor pun kami masih bisa melihat bagaiamana si pelaku diperlakukan. Kaca ke kantor cukup tembus pandang. Tampaknya ia justru diperlakukan lebih keras lagi. Ia disundut rokok, kemudian didorong ke sudut dan dijepit dengan lemari besi. Ada yang memukuli dia. Dan seterusnya.  Sepertinya perlakuannya terus bertambah parah. Ketika 10 menit kemudian abang iparku selesai memberikan laporan pencurian kepada petugas keamanan, kami pun pergi dari mall itu dengan perasaan lega.

Juga sedikit bersalah.

Terus terang perasaanku campur aduk melihat itu semua. Di satu sisi aku merasa apa yang terjadi sungguh-sungguh salah. Aku punya latar belakang HAM dan aku sungguh-sungguh merasa si pencuri tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Itu adalah pelanggaran haknya sebagai manusia. Namun di sisi lain aku tidak tahu bagaimana menghentikan penyiksaan itu. Aku merasa seperti memasuki wilayah asing yang tidak aku ketahui, dan aku ragu-ragu bagaimana mengambil tindakan yang tepat. Akhirnya aku memilih untuk diam saja  dan mengalihkan pandangan dari apa yang terjadi. Aku tidak ragu bahwa tingkat kekerasan akan makin tinggi setelah kami pergi, dan mungkin akan semakin tinggi ketika si pelaku itu diserahkan ke tangan polisi. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh si polisi terhadap si pelaku.

Sekarang kadang-kadang aku merasa bahwa aku telah bersalah. Mungkin seharusnya aku paling tidak coba bicara dengan para petugas keamanan tersebut dan mencoba membujuk mereka untuk berlaku lebih lembut dan tidak memukuli si pelaku. Entahlah. Mungkin saja tindakanku untuk diam saja saat itu sudah tepat. Aku tidak pernah benar-benar tahu.

Sabtu, 10 Maret 2012

Komisi HAM ASEAN

ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AIHCR), atau komisi Hak Asasi ASEAN adalah sebuah badan yang didirikan pada tanggal 23 Oktober 2009 dengan tujuan promosi dan proteksi hak asasi manusia. Mandat promosi dan proteksi ini sesuai dengan yang tercantum di dalam Piagam ASEAN pasal ke-14 (1) yang berbunyi:

in conformity with the purposes and principles of the ASEAN Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms, ASEAN shall establish an ASEAN Human Rights body.

("selaras dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAM yang terkait pada promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar, ASEAN akan mendirikan badan Hak Asasi Manusia ASEAN.")

Jadi, berdasarkan piagam ASEAN mandat komisi ini pada dasarnya ada dua: mandat promosi dan mandat proteksi. Namun ketika pasal ini diterjemahkan ke dalam TOR (Term of Reference - panduan keorganisasian) yang menjadi semacam anggaran dasar bagi badan ini, terlihat bahwa AIHCR cenderung memusatkan diri pada mandat promosi saja. AIHCR, misalnya, tidak bisa melakukan on-site visits (kunjungan ke lokasi) seperti yang umumnya bisa dilakukan oleh komisi-komisi HAM Regional lainnya di dunia. Komisi ini juga tidak bisa meminta dari negara-negara anggota tentang isu atau topik HAM tertentu. Mereka juga tidak diberi kuasa untuk memberikan pendapat tentang isu-isu HAM kecuali bila diminta oleh negara-negara anggota.

Memang, selain kelemahan mengenai mandat dan fungsi komisi ini, AIHCR masih memiliki sejumlah kelemahan lain yang mencolok. Banyak pengamat dan aktivis HAM telah menunjukkan kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Ketidakmandirian. Anggota AIHCR dipilih oleh negara anggota dan menduduki kursinya sebagai perwakilan negara. Negara-negara tersebut memegang hak untuk memanggil dan menggantikan wakilnya di AIHCR sewaktu-waktu. Ini berarti posisi di AIHCR sangat tergantung pada kebijakan negara bersangkutan.

2. Terbatasnya keterlibatan masyarakat sipil dalam AIHCR. Pasal 4.8 dari TOR AIHCR mengatakan bahwa badan ini akan melakukan dialog dan dan konsultasi dengan badan-badan ASEAN lainnya maupun juga dengan entitas-entitas yang terkait dengan ASEAN (entities associated with ASEAN). Namun entitas-entitas ini berjumlah terbatas, dan bila kita merujuk pada bab V dari Piagam ASEAN mengenai badan-badan ini dan lampiran-2 yang berisikan daftar organisasi-organisasi masyarakat sipil yang diakui ASEAN, maka jumlah organisasi yang bisa berkonsultasi dengan ASEAN tentang isu HAM hanya berjumlah kurang dari 70 buah. Ini tentunya sangat membatasi kemampuan masyarakat untuk bisa memberikan masukan terhadap perdebatan dan perkembangan isu HAM di dalam AIHCR.

3. Standarisasi norma-norma HAM. Sejak didirikan ASEAN selalu memegang teguh prinsip 'tidak campur tangan' (non-interference) dalam urusan dalam negeri negara-negara anggotanya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan negara-negara anggota ASEAN adalah bekas negara jajahan, yang membuat mereka cukup sensitif dengan upaya-upaya dari luar untuk mengontrol kebijakan dalam negeri mereka. Walaupun hal ini bisa dimengerti, prinsip 'tak campur tangan' dapat menyulitkan penerapan standar HAM yang sama di ASEAN. Hal ini bahkan disinggung dalam TOR AIHCR yang mengatakan (pasal 1.4):

to promote human rights within the regional context, bearing in mind national and regional particularities and mutual respect for different historical, cultural and religious backgrounds, and taking into account the balance between rights and responsibilities.

("mempromosikan hak asasi manusia dalam konteks regional, dengan mengingat kekhususan-kekhususan nasional dan regional dan rasa saling menghormati atas perbedaan sejarah, budaya dan agama, serta mempertimbangkan keseimbangan antara hak dan kewajiban")

Aktivis-aktivis HAM akan melihat banyak kesamaan antara kata-kata yang digunakan dalam pasal tersebut dengan sebuah dokumen yang dikeluarkan ASEAN hampir dua puluh tahun lalu menjelang kongres HAM internasional di Vienna tahun 1993. Dokumen itu, Joint Communique (Pernyataan Bersama) Menteri Luar Negeri ASEAN, pada butir 16 hingga 18 menyebut secara spesifik mengenai isu HAM. Di situ disebutkan:

...the protection and promotion of human rights in the international communicty should take cognizance of the principles of respect for national sovereignty, territorial integritiy and non-interference in the internal affairs of the states

("... perlindungan dan promosi HAM di masyarakat internasional perlu mempertimbangkan prinsip penghormatan atas kedaulatan nasional, integritas kawasan dan tanpa campur tangan dalam urusan internal negara-negara")

Dengan kata lain, negara-negara ASEAN tidak mau ditekan atau didikte dalam hal perlindungan HAM. Bila prinsip ini terus menjadi panglima, maka akan sulit bagi AIHCR untuk menjadi badan yang mampu menekan pemerintahan negara-negara ASEAN untuk mengambil langkah-langkah serius dalam memperbaiki kondisi HAM di negara masing-masing.

Jadi, itulah 4 kelemahan utama yang terlihat dari TOR AIHCR. Namun, selalu ada kemungkinan bagi badan itu sendiri untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut melalui tindakan-tindakan mereka ataupun keputusan yang mereka ambil. Hanya saja, itu akan sangat tergantung pada kesediaan politik negara-negara anggota ASEAN sendiri. Bila mereka tidak bersedia untuk memberikan ruang lebih besar bagi AIHCR untuk bergerak, maka akan sulit bagi komisi tersebut untuk memberikan dampak yang berarti bagi perlindungan HAM di Asia Tenggara.

Senin, 05 Maret 2012

Revisi KUHP Sekarang

Saya ikut mendukung tuntutan Amnesty Internasioanl kepada pemerintah Indonesia untuk mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mengikut sertakan pelarangan tindakan penyiksaan secara eksplisit, sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Sosial yang telah diratifikasi Indoensia. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara spesifik mengatur pelarangan tindak penyiksaan.

Tentu saja tindakan penyiksaan tidak sepenuhnya tidak dilarang di dalam KUHP, walaupun dalam KUHP istilah yang digunakan adalah penganiayaan. Pasal 351-358 KUHP menjabarkan berbagai jenis penganiayaan, mulai dari penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), penganiayaan biasa (351), penganiayaan biasa yang direncanakan terlebih dahulu (353), penganiayaan berat (354) dan penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu (355). Hanya saja penganiayaan yang dijabarkan dalam KUHP belum sepenuhnya mencakup apa yang dimaksud sebagai penyiksaan (torture) sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7dan 9  Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (tapi terutama pasal 7).


Salah satu kelemahan yang kerap disuarakan oleh aktivis HAM adalah pasal-pasal tersebut tidak secara spesifik mengatur tindak penganiayaan yang dilakukan oleh aparat negara, pada saat menjalankan interogasi, misalnya, atau pada saat menjatuhkan hukuman. Konvensi anti-penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 5/1998, mendefinisikan penyiksaan sebagai (saya berusaha menerjemahkannya di belakang);

...torture means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity...

(...tindakan yang menyebabkan kesakitan atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang dengan sengaja dilakukan untuk mendapatkan dari orang tersebut, atau dari pihak ketiga, informasi tertentu atau pengakuan, atau sebagai sebuah hukuman untuk suatu hal yang korban - atau pihak ketiga - lakukan, atau sebagai intimidasi, atau untuk memaksa korban atau pihak ketiga, atau untuk alasan-alasan lain yang berdasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apa pun, serta kesakitan atau penderitaan tersebut dilakukan atas sepengetahuan atau persetujuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik. )

Jadi, bila dilihat di atas, konvensi anti penyiksaan memiliki sejumlah elemen berikut: kesakitan atau penderitaan, elemen tujuan (mendapatkan informasi, pemaksaan untuk melakukan sesuatu, bentuk diskriminasi, pengakuan), dan elemen keterlibatan aparatur negara (pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik). Bila merujuk pada konvensi tersebut maka pasal-pasal penganiayaan dalam KUHP yang hanya mengatur elemen kesakitan atau penderitaan masih sangat kurang memadai.

Harapan saya adalah bila Indonesia merevisi KUHP (agar menyesuaikan dengan konvensi anti-penyiksaan) maka peristiwa-peristiwa penyiksaan dan penganiayaan yang kerap diduga dilakukan oleh polisi dan aparatur negara lainnya akan berkurang. Termasuk juga untuk mengurangi kasus-kasus pelanggaran HAM yang konon katanya sering dilakukan oleh tentara Indonesia di Papua. Saya harap ini akan terjadi tidak lama lagi.

Referensi:  http://nasional.kompas.com/read/2012/03/04/08535349/Amnesty.International.Desak.Indonesia.Revisi.KUHP

Rabu, 29 Februari 2012

UNYIL

Orang-orang memanggilnya Unyil.  Itu nama julukan, bukan nama asli. Tapi nama itu begitu melekat hingga hampir tidak ada seorang pun yang tahu nama aslinya. Aku duduk satu kelas dengan dia selama satu tahun pertamaku di kampus, sehingga aku tahu bahwa nama aslinya adalah Mochtar Rachmat. Namun dua nama itu tidak pernah digunakan oleh siapa pun untuk memanggil dia, kecuali oleh para dosen saat sedang melakukan absensi. Setelah absensi, nama itu tidak akan terdengar lagi sepanjang kelas karena dosen-dosen tidak pernah memanggil dia untuk apa pun, dan ia sendiri selalu berusaha untuk tidak menarik perhatian para dosen.  Mochtar, Rachmat, atau Unyil bukan murid yang luar biasa cerdas atau brilian.

Kenapa ia dipanggil Unyil? Aku tidak tahu begitu persis kenapa. Aku tidak begitu akrab dengan dia, dan lagipula dia sebenarnya tiga tahun di atasku. Mungkin ia dipanggil demikian karena ukuran badannya yang kecil seperti boneka si unyil. Aku tidak tahu. Tapi asal-usul nama julukannya tidak begitu relevan. Yang relevan dengan cerita ini adalah si Unyil terkenal di kampusku sebagai Bandar narkoba.

Kamu ingin beli apa dari dia? Sabu-sabu? Ganja? Cimeng? Dia punya semua. Setiap hari, selepas jam makan siang, di belakang gedung kampus yang paling belakang, dia akan nongkrong sambil nyimeng bersama teman-temannya. Itu juga pusat transaksi dia. Semua orang di kampus tahu itu, bahkan juga para satpam. Tapi tidak pernah ada yang mengganggu dia. Mungkin juga para satpam itu dapat bagian dari penghasilan dia. Unyil si Bandar cimeng sepertinya tak tersentuh oleh siapa pun.

Tapi rupanya ia masih tersentuh oleh maut. Aku tidak begitu tahu persi detil ceritanya, namun rupanya suatu malam ia menghisap terlalu banyak ganja dan mengalami OD. Ia sendirian saat itu sehingga tidak ada yang sadar saat itu terjadi. Mayatnya baru ditemukan esok sorenya karena ia tidak muncul di tempat nongkrongnya yang biasa hari itu. Beberapa temannya pergi mengunjungi kostnya. Ketika ia tidak menjawab ketika dipanggil-panggil mereka mendobrak pintu kostnya dan menemukan ia sudah menjadi mayat. Aku tahu cerita ini dari teman sekelasku yang lain, David, yang juga anggota gengnya si unyil yang ikut pergi ke kostnya hari itu. Ada gosip yang beredar tidak lama setelah itu bahwa unyil sebenarnya tidak kecelakaan, melainkan bunuh diri.  Aku ingat cukup kaget mendengar berita itu, tapi tidak ada perasaan sedih, prihatin ataupun gundah. Seperti aku bilang, aku tidak dekat dengan dia. Jadi, aku tidak terlalu ingin tahu apakah gosip bunuh diri itu benar atau tidak.

Aku kemudian lulus kuliah, bekerja dan menikah. Aku sudah melupakan tentang kisah si Unyil itu, sampai kemarin ketika aku bertemu kembali dengan David di sebuah kedai kopi tanpa sengaja. Dia baru saja bertemu dengan seorang kliennya, dan aku sedang menunggu istriku. David sudah ‘bersih’, tidak menggunakan narkoba lagi, dan memiliki pekerjaan yang mapan dan mantap serta sudah menikah juga. Kami akhirnya bicara ngalor-ngidul tentang masa-masa kuliah, hingga entah bagaimana tiba-tiba kami jadi membicarakan tentang si unyil. Aku kemudian teringat pada gosip bunuh diri itu, dan bertanya ke David apakah gosip itu benar atau tidak.

David melihatku dalam-dalam dan bertanya, “elo benar-benar ingin tahu?”

Aku agak bingung dengan tatapannya, “ya kalau gue nggak penasaran, nggak mungkin nanya kan?”

Ia terlihat agak ragu-ragu. Menunduk sebentar seperti sedang berpikir dalam-dalam, kemudian setelah ia menghirup kopinya, ia berkata, “ya gue rasa memang seharusnya orang tahu, terlebih-lebih elo. Bahkan itu sebenarnya keinginan si Unyil. Cuma saat itu kami putuskan bahwa lebih baik tidak ada yang tahu.”

Aku tambah bingung dengan kata-kata dia, “apa maksud elo?”

“Unyil memang sebenarnya bunuh diri,” kata David. “Waktu itu saat kami menemukan Unyil di samping tubuhnya ada tiga lembar kertas folio yang penuh dengan tulisan tangan dia. Dari tulisan itu kami sadar bahwa unyil memang sengaja menelan pil banyak-banyak untuk bunuh diri. Itu sama sekali bukan kecelakaan. Namun setelah membaca kertas itu, kami putuskan untuk membuang surat itu agar tidak ditemukan oleh orang lain.”

“Loh kok begitu? Itu salah sama sekali!” kataku setengah berteriak. “Tidak sepantasnya itu kalian lakukan. Itu seperti pernyataan terakhir dia, bukan? Orang –orang terdekatnya pantas tahu apa yang hendak ia katakan.”

“Gue juga nggak tahu kenapa kita ngebuang surat dia. Mungkin karena kami terlalu shock dengan apa yang kita baca di situ. Kami sama sekali tidak menduga…” Jawab David.

“Apa yang dia tulis?”

David tidak menjawab. Ia pergi ke counter pemesanan dan membeli segelas kopi lagi. Espresso tanpa gula. Kemudian ia kembali lagi ke meja kami. Membuka sebungkus rokok, menyalakannya dan kemudian menghisapnya dalam-dalam. Ia melihatku lagi, katanya,

“Ini yang gue tahu dari apa yang gue baca di surat itu. Unyil sendiri nggak pernah cerita sedalam ini ke gue.  Dari satu geng tidak ada satu pun yang tahu ini sebelumnya.
Unyil itu anak pejabat. Keluarganya keluarga sukses. Abangnya yang paling tua salah satu lulusan terbaik akademi militer di angkatannya. Abangnya yang nomor dua dokter bedah. Semua orang pikir bahwa keluarga itu hanya menghasilkan bibit-bibit terbaik. Unyil itu anak terakhir dengan beda umur yang cukup jauh dengan abang-abangnya. Jadi ia tumbuh besar dengan melihat kesuksesan abang-abangnya dan ia diharapkan untuk mengikuti jejak mereka. Orang tidak ada yang pernah bertanya ke dia apakah dia ingin mendapat sukses seperti itu. Semuanya hanya berasumsi bahwa itu yang dia mau dan itu yang akan dia dapat.”

“Ternyata bukan itu yang dia mau, sehingga dia melarikan diri ke narkoba?”

“Kurang lebih seperti itu. Atau lebih tepatnya, ada hal-hal yang dia tahu dia tidak mau tapi orang-orang berpikir bahwa itu yang seharusnya dia inginkan, seperti kesuksesan abang-abangnya. Di lain pihak ada hal-hal yang dia tahu dia mau tapi bagi kebanyakan orang itu tidak seharusnya dia inginkan. Tampaknya kombinasi dari dua hal itulah yang mendorong dia untuk bunuh diri.” 

“Maksud lo?”

“Singkatnya, dia jatuh cinta.”

 “Jatuh cinta? Kalau jatuh cinta ya harus berjuang dong. Jangan menyerah dengan bunuh diri. Bukannya itu pengecut? Bego!” kataku setengah berteriak.

“Ya memang bego. Karena dia jatuh cinta sama elo,” kata David pelan.

Aku sungguh tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaan kagetku mendengar kata-kata David. Awalnya aku pikir dia bercanda, tapi matanya menatapku lurus-lurus. Aku menunggu dia untuk tertawa, tapi ia tidak tertawa sama sekali.
“Lo bercanda, kan?”

“Gue nggak bercanda. Setengah surat terakhirnya berisikan tentang perasaannya ke elo. Waktu kalian pertama kali ketemu di kelas. Dia masih ingat lo makai baju apa hari itu, kemudian bagaimana dia selalu duduk di belakang agar dia bisa melihat elo, dan walaupun kelas itu kelas pagi dia sama sekali nggak pernah absen karena dia pengen ketemu elo.”

Itu benar. Unyil sama sekali tidak pernah absen di kelas itu. Baru sekarang aku sadar bahwa itu memang aneh.

 “Lah, kok bisa? Kenapa? Gue nggak ngerti, apa…” dan aku tidak bisa berkata-kata lagi.

“Jangan tanya gue. Kami pun saat itu sama kagetnya. Kami tidak tahu sama sekali bahwa unyil itu gay. Dia rupanya sudah sadar tentang hal itu sejak usia 12 atau 13 tahun, katanya. Tapi ia rahasiakan itu dalam-dalam. Mungkin juga itu menambah alasan kenapa dia akhirnya lari ke narkoba.”

“Tapi… kenapa… kok bisa… maksud gue, kenapa… dia kan nggak perlu… dia kan sudah bertahan selama itu, kenapa tiba-tiba bunuh diri?”

“Kalau menurut dia, itu karena akhirnya elo pacaran dengan… dengan… gue sudah lupa nama pacar lo saat itu. Tapi itu bikin dia sungguh, sungguh patah hati. Dia bilang lo sempat beberapa kali beradu pandang dengan dia di kelas. Dia pikir mungkin lo juga ada perasaan ke dia. Jadi selama beberapa hari dia sudah pikir-pikir keras untuk ngajak lo bicara. Tapi suatu ketika dia ngelihat lo gandengan tangan dengan pacar lo. Itu yang bikin dia patah hati.”

Setelah itu David terdiam.
“Mungkin memang seharusnya kami tidak buang surat itu. Unyil itu anak baik, sebenarnya. Tapi…” 

Dia aduk kopinya lagi, kemudian dia habiskan dalam satu teguk. Melihat jam, dan berdiri.
“Oke deh, gue harus balik ke kantor lagi. Sampai ketemu lagi ya. Kita kontak-kontakan nanti ya.”

Aku masih kaget mendengar cerita David, tidak menjawab. David melihat ke arahku, kemudian bilang,
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Itu kejadian lama. Kita nggak bisa apa-apa lagi sekarang.” Kemudian sambil menjabat tanganku, dia bilang, “Sampai ketemu lagi, ya.”

Aku hanya menggumamkan kata-kata selamat tinggal.

Setelah David pergi, aku hanya duduk terdiam beberapa lama. Badanku lemas. Aku tidak mampu bergerak. Sekarang aku bisa mengingat jelas masa-masa itu. Unyil yang mungil. Tubuhnya memang kecil, seperti perempuan. Matanya agak sayu, tapi indah. Dulu aku suka memandang mata itu, tapi saat kami bersitatap aku selalu buru-buru mengalihkan pandanganku. Aku merasa berdosa. Sungguh berdosa. Tangannya kurus kecil, tampaknya rapuh. Aku sungguh ingin memegang tangannya, tapi aku merasa berdosa. Sungguh berdosa.

Tanpa sadar air mataku mengalir.

Bego!

Minggu, 19 Februari 2012

Blog Baru

Aku punya blog lain, namun ini ditulis dalam bahasa Inggris, karena kadang-kadang aku menulis dalam bahasa Inggris juga dan aku tidak mau mencampur tulisan bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisku jadi satu. Alamatnya ada di: http://tadob.blogspot.com/2012/02/greeting.html.

Onde-onde dan Kebudayaan Khas Indonesia

Onde-onde. Kita semua tahu onde-onde. Jajanan pasar tradisional. Bisa ditemukan dengan mudah di mana pun di seluruh Indonesia. Bulat kecoklatan dengan bintik-bintik putih wijen, onde-onde paling enak dimakan saat hangat. Isi kacang hijaunya memberi rasa manis di mulut saat kita gigit. Salah satu makanan kesukaanku waktu SD. Aku tidak pernah lupa membeli onde-onde di tukang gorengan di samping sekolah bila mama sedang berbaik hati dan memberikan aku uang jajan.

Onde-onde sudah sangat dikenal, bahkan sejak dulu kala. Ibu kita tahu onde-onde. Ibunya ibu kita kemungkinan besar juga tahu onde-onde. Lebih jauh lagi, nenek dari nenek kita pun juga kemungkinan tahu onde-onde. Bahkan, konon onde-onde sudah sangat populer di jaman Majapahit. Di abad ke-13 (kurang lebih di masa-masa awal Majapahit berdiri), katanya kota Mojokerto sudah dikenal sebagai pusatnya onde-onde, reputasi yang terus bertahan hingga sekarang. Bila itu benar, maka onde-onde sudah dikenal orang Indonesia minimal selama 700 tahun. Bila itu benar, maka onde-onde memang benar adalah jajanan tradisional khas Indonesia.

Tapi apakah benar bahwa onde-onde adalah makanan khas Indonesia? Tadinya aku pikir demikian. Namun ternyata jawabannya tidak sesederhana yang aku duga sebelumnya.
Tahun lalu aku mendapatkan kesempatan untuk berkunjung dan tinggal di Manila, Filipina, selama beberapa waktu. Suatu ketika, aku pergi ke sebuah pasar tradisional di Manila bersama dengan serombongan teman dari berbagai negara. Di sana aku melihat kue yang bentuknya mirip sekali dengan onde-onde. Bentuknya mirip, bulat kecoklatan hasil dari bola tepung terigu yang digoreng dan kemudian ditaburi wijen, dan bagian dalamnya diisi dengan kacang hijau.

Menurut teman Filipina yang menemaniku saat itu, kue itu namanya Butsi atau Buchi, dan sebenarnya merupakan makanan khas Cina. Temanku yang Cina membenarkan, walaupun aku lupa apa nama aslinya dalam bahasa Mandarin. Aku kemudian mencoba menyicipi dan memang benar rasanya adalah rasa onde-onde. Aku lebih kaget lagi ketika teman-temanku yang dari Vietnam dan Thailand kemudian berkata bahwa mereka punya kue tradisional seperti itu juga di negara mereka masing-masing.

Tentu saja itu membangkitkan rasa penasaranku. Tidak berapa lama setelah itu aku mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang onde-onde. Menurut hasil penelitian singkatku ternyata onde-onde ini memang dikenal di berbagai negara di Asia Tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Kue ini berasal dari Cina dan dibawa oleh para pedagang Cina ratusan tahun lalu ke berbagai tempat sembari melakukan aktivitas dagang mereka. Orang-orang di Asia Tenggara rupanya menyukai rasa kue ini dan kemudian mulai membuatnya sendiri. Tidak sulit tentunya untuk membuat onde-onde karena bahan bakunya dapat ditemui dengan mudah di iklim tropik Asia Tenggara. Popularitas onde-onde rupanya tidak pernah surut hingga kue ini terus bertahan selama ratusan tahun hingga sekarang. Dia telah bertahan sedemikian lamanya sehingga orang-orang telah menganggap kue ini sebagai makanan tradisional mereka. Aku pikir di Indonesia tidak ada satu pun orang yang akan melabeli onde-onde sebagai makanan Cina, karena telah begitu melekatnya onde-onde ke dalam kosakata makanan kita. Kebanyakan dari kita pasti akan melabeli onde-onde sebagai jajanan tradisional Indonesia.

Kisah onde-onde ini membawaku berpikir lebih jauh tentang kebudayaan. Kenapa tiba-tiba bicara tentang kebudayaan? Tentu saja karena makanan adalah bagian dari budaya. Onde-onde adalah representasi kebudayaan. Pergerakan dan penyebaran kebudayaan pembuatan onde-onde dengan demikian bisa menjelaskan banyak tentang bagaimana budaya tumbuh dan berkembang, dan bagaimana budaya-budaya yang berbeda bisa saling mempengaruhi satu sama lain.

Jadi, pelajaran apa yang aku temukan dari melihat kasus onde-onde? Aku pikir pelajaran utamanya adalah bahwa dalam kebudayaan ‘kekhasan’ dan ‘keaslian’ merupakan konsep yang ilusif dan seringkali menipu. Onde-onde yang kita pandang khas dan asli ternyata berasal dari tempat lain dan bisa ditemukan juga di tempat lain. Lebih mengagetkan lagi adalah bahwa onde-onde ternyata hanyalah satu dari berbagai jenis budaya lokal yang kita pikir merupakan asli dari Indonesia namun sebenarnya memiliki asal usul dari tempat lain. Ada banyak contoh lain. Pakaian pernikahan tradisional orang Betawi, misalnya, rupanya hasil perkawinan dari pakaian tradisional Cina, Arab dan Belanda sekaligus. Pertunjukan wayang kulit rupanya terinspirasi dari pertunjukan wayang di India dan Cina (cerita wayang kulit bahkan telak-telakan mengambil kisah asli dari India dengan modifikasi sana sini).

Terutama kalau kita bicara konteks Indonesia, sebenarnya sulit sekali bagi kita untuk menemukan budaya yang memang asli dan khas Indonesia. Kita berada di jalur pertemuan berbagai kebudayaan besar dunia. Kebudayaan Cina dan India bertemu di kepulauan Indonesia sejak dahulu kala. Kemudian kebudayaan Arab dan Eropa datang dan ikut mempengaruhi kebudayaan kita. Hampir semua yang kita anggap tradisional di Indonesia sebenarnya merupakan hasil pengaruh dan terinspirasi dari kebudayaan lain. Sebaliknya juga kebudayaan kita ikut menginspirasi kebudayaan-kebudayaan lainnya.

Bagiku itu bagus, karena ini mendorong perkembangan budaya. Kebudayaan-kebudayaan yang berbeda menjadi inspirasi bagi satu sama lain. Interaksi dan pertukaran ide dengan orang luar memungkinkan kita untuk berpikir di luar kotak kebudayaan kita, membuka pikiran dan memberikan inspirasi bagi kita untuk mengembangkan kebudayaan kita sendiri.

Di sini aku perlu memberikan sedikit catatan. Akhir-akhir ini sepertinya ada kecenderungan di Indonesia untuk menciptakan batas kebudayaan, atau untuk menemukan kebudayaan khas yang asli Indonesia dan kemudian mendeklarasikannya sebagai milik Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghindari tindakan ‘pencurian budaya’ yang konon katanya sedang coba dilakukan oleh negara tetangga kita, Malaysia. Konon katanya Malaysia telah mengklaim sejumlah budaya yang ‘khas’ Indonesia sebagai milik mereka dan hal ini membangkitkan amarah banyak orang Indonesia.

Terus terang perasaan saya campur aduk setiap kali mendengar atau membaca berita ini, antara sedih, gelisah dan geli. Tampaknya di Indonesia ada kesalah pahaman tentang esensi budaya. Sepertinya orang-orang di Indonesia berpikir bahwa budaya memiliki batas pengaruh yang serupa dengan batas politik, sehingga dengan demikian budaya Indonesia adalah budaya yang hanya bisa ditemukan di dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Mereka lupa bahwa dalam hal kebudayaan perbatasan sifatnya lebih cair dan fleksibel dan seringkali tidak mengikuti batas politik. Orang-orang telah berpindah tempat sejak dahulu kala dari tempat asal dan kemudian menetap di tempat baru. Mereka membawa serta kebudayaan dari tempat asal mereka ke tempat tujuan. Seperti yang dilakukan oleh banyak migran dari Jawa, Aceh dan Maluku yang hijrah ke Malaysia dan menetap di sana. Tentu saja mereka tetap punya hak untuk mengklaim kebudayaan tempat asal mereka sebagai kebudayaan mereka juga bahkan walaupun mereka sudah bertempat di luar batas politik negara asal mereka, bukan? Lebih jauh lagi, bagi saya sungguh sangat memalukan bila kita menuding negara lain telah ‘mencuri’ kebudayaan kita, mengingat entah berapa banyak jenis kebudayaan yang telah kita tiru dan adopsi dari komunitas-komunitas lain di luar Indonesia. Ingat saja onde-onde.

Luar biasa bagaimana sepotong onde-onde bisa mengajarkan kita sedemikian banyak hal.

Salam Pembuka

Saya buat blog ini sebagai penyaluran keinginan untuk menuliskan apa pun yang saya mau, sebagaimana blog memang seharusnya dibuat.