Rabu, 02 Mei 2012

Hak Untuk Tidak Beragama

Apakah hak untuk tidak beragama dikenali dalam hukum HAM internasional? Hingga saat ini memang tidak ada satu pun perjanjian internasional yang secara eksplisit memberikan perlindungan terhadap para atheis. Bahkan kata 'atheisme' tidak sekali pun disebut dalam pasal-pasal konvensi Hak Asasi Manusia internasional mana pun, berbeda dengan kata 'agama' dan 'kepercayaan'. Namun, ini tidak berarti atheisme tidak dilindungi oleh konvensi-konvensi HAM internasional.

Hak untuk tidak beragama pada dasarnya tetap dilindungi dalam konvensi-konvensi ini. Ada dua jalur untuk perlindungan tersebut. Pertama, pada dasarnya atheisme dapat dikelompokkan sebagai sebentuk kepercayaan. Oleh karena itu, pasal-pasal yang memberikan perlindungan terhadap para penganut agama dan kepercayaan juga dapat diaplikasikan terhadap para penganut atheisme. Kedua, atheisme juga dapat dipandang sebagai satu bentuk kebebasan berpikir (freedom of thought), dan hak kebebasan berpikir telah diatur secara eksplisit di dalam berbagai konvensi internasional tersebut.

Dengan demikian, pasal 18 dari ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang berbicara tentang perlindungan bagi kebebasan berpikir dan beragama dapat diartikan sebagai juga memberikan perlindungan bagi kaum atheis, bahkan walaupun kata-kata 'atheisme' sama sekali tidak disebutkan di dalam pasal tersebut. Begitu pula pasal 2 ayat (2) dari ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang berbicara tentang perlindungan dari  diskriminasi rasial, warna kulit, jenis kelamin, dan lain-lain (termasuk agama), juga memberikan perlindungan bagi atheisme, bahkan walaupun kata 'atheisme' tidak disebutkan di dalam pasal tersebut.

Bagaimana dengan perlindungan atas hak untuk tidak beragama di Indonesia?

Sekilas tampaknya atheisme tidak memiliki tempat di Indonesia. Pertama, karena ada penolakan secara sosial. Kedua, penolakan secara legal-formal.

Secara sosial, mayoritas masyarakat Indonesia memeluk salah satu dari 6 agama resmi yang diakui pemerintah atau salah satu dari aliran-aliran kepercayaan tradisional. Orang Indonesia umumnya memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap agama atau aliran kepercayaan berbeda karena umumnya mereka memandang bahwa 'pada dasarnya Tuhan yang dipercaya tetap sama, hanya cara untuk mencapaiNya berbeda'. Filosofi seperti ini mampu membantu menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Hanya saja, filosofi inilah juga yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lebih resisten terhadap paham atheisme. Bahkan bukan hanya resisten, melainkan terang-terangan menolak, yang kemudian mengarah kepada tindak kekerasan terhadap orang-orang yang mengaku dirinya sebagai atheis.

Penolakan secara sosial kemudian ditambah juga dengan penolakan atheisme secara legal formal. Semua orang di Indonesia tahu bahwa sila pertama dari dasar negara Indonesia berbunyi “Ketuhanan yang maha esa”. Ini kemudian diperkuat lagi dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Kebanyakan orang menafsirkan sila ini sebagai kewajiban bagi seluruh warga Indonesia untuk memiliki Tuhan untuk diimani. Bila tidak bisa memiliki Tuhan, maka orang tersebut akan dianggap tidak memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan oleh demikian bisa dihukum, atau bahkan tidak lagi dianggap sebagai warga negara.

Lebih jauh lagi, bahkan walaupun atheisme tidak secara eksplisit dilarang oleh hukum, namun ada pasal-pasal hukum yang mengkriminalkan penghinaan terhadap agama. Ada sejumlah pandangan yang mengatakan bahwa paham atheisme – terutama bila ada upaya menyebar luaskan – merupakan tindakan penghinaan terhadap agama, sehingga dengan demikian dapat dipidanakan. Perlindungan dari penghinaan atas agama, dalam hukum di Indonesia, diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kemudian ada juga pasal 165a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bunyinya:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a.   Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b.   Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ayat (b) di atas, dapat diartikan sebagai sebuah larangan untuk menyebarkan paham atheisme di Indonesia, walaupun tidak secara eksplisit melarang orang untuk tidak beragama.

Kasus Alexander Aan, seorang PNS di Sumatera Barat, yang mengumumkan dirinya sebagai seorang atheis di facebook, merupakan contoh yang sangat baik untuk mengilustrasikan dua jenis penolakan tersebut.  Alexander diamuk massa setelah berita tentang dirinya yang menganut atheisme tersebar, dan kemudian ia dibawa ke kantor polisi dan didakwa dengan pasal 165a KUHP di atas, dengan ancaman pidana 5 tahun penjara. Kasusnya masih dalam proses hukum.

Apakah hak untuk tidak beragama sebaiknya dikenali oleh hukum di Indonesia? Bagi saya jawabannya adalah iya. Ada dua alasan.

Pertama, karena hak untuk tidak beragama adalah sisi lain dari koin yang sama dari hak untuk beragama. Ini karena melekat dalam hak untuk beragama adalah elemen 'kerelaan' artinya setiap orang memeluk agama secara sukarela dan bukan karena dipaksa. Elemen kerelaan ini bahkan bisa dilihat pada butir ke-7 pengamalan sila pertama Pancasila, yang bunyinya:  “Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.” Karena agama tidak bisa dipaksakan, maka kita bisa menarik kesimpulan lebih jauh bahwa bila seseorang tidak ingin beragama maka kita tidak bisa memaksa dia untuk merubah pendiriannya tersebut. Bila agama diwajibkan maka itu sebenarnya sudah melanggar esensi paling utama dari hak beragama itu sendiri.

Kedua, karena hak untuk tidak beragama juga merupakan bagian dari hak untuk bersikap dan berpendapat (freedom of opinion and conscience). Hak ini adalah salah satu hak yang dianggap bersifat absolut dan non-derogable (artinya tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, bahkan tidak boleh dikurangi dalam kondisi darurat). Tentu saja, hak ini memiliki batasan-batasan, misalnya pelaksanaan hak ini tidak boleh sampai mengganggu ketertiban umum. Pandangan inilah yang seringkali digunakan untuk menghalang-halangi atheisme di Indonesia, yaitu karena dianggap dapat meresahkan masyarakat. Hanya saja ketertiban umum adalah sesuatu yang relatif dan sangat tergantung kepada penyikapan pemerintah sendiri. Bila pemerintah memilih untuk tidak memberikan kepastian perlindungan hukum terhadap mereka yang memilih untuk tidak beragama, misalnya, tentu saja ini akan berkontribusi meningkatkan keresahan publik.

Jadi, itulah dua alasan saya mengapa hak untuk tidak beragama sebaiknya dikenali dan dilindungi secara hukum di Indonesia: yaitu karena itu sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari hak beragama, dan karena itu adalah bagian dari hak untuk bersikap dan berpendapat. Selain itu, pengenalan terhadap hak ini juga penting sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban internasional Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi ICCPR dan ICESCR. Seperti telah saya jelaskan di atas, walaupun atheisme tidak disebutkan secara eksplisit dalam dua instrumen internasional tersebut, namun secara implisit perlindungan terhadap hak ini sebenarnya telah terkandung  di dalam keduanya.


5 komentar:

  1. Paham atheisme belum negitu merebak di negeri ini, berbeda dengan negara2 barat dimana setiap orang bebasdan berhak memproklamasikan ke-atheisan nya, dengan ada tidaknya agama bahkan tuhan yang terpenting bagi mereka bagaimana bertahan hidup. Dengan membaca artikel ini saya berpendapat sama dengan penulis dalam hal kepercayaan yang bebas di anut, dalam Al Qu'ran surat Al Kafirun pun menegaskan, setiap manusia berhak memeluk agama yang dipercaya, meski tidak disebutkan apakah atheis jg diperbolehkan. Singkat pandangan saya selama mereka menganut paham yang dianggapnya benar, tidak mengganggu, merusuh, merusak bahkan mempengaruhi tidaklah pantas mengadili karena dasar dari manusia sendiri tidak dan belum mengerti sepenuhnya keadilan itu, seperti kasus seorang PNS sum-bar, saya sendiri warga sum-bar terus terang terkejut, ada yang mengumumkan dirinya atheis padahal warga ranah minang atau sum-bar memiliki ikatan kepercayaan terhadap tuhan meski tak sepenuhnya utuh. Lain pula jika masalah agama ini menimbulkan sengketa, perpecahan bahkan bisa peperangan seperti kasus sunni syiah, namun untuk orang perorang dan tidak ada dampak negatif yg besar, kita perlu pertanyakan, kemana perlindungan hukum tersebut?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Nisa. Makasih komentarnya ya. Saya tertarik pada bagian komentar anda yang berbunyi 'selama mereka menganut paham yang dianggapnya benar, tidak mengganggu, merusuh, merusak bahkan mempengaruhi tidaklah pantas mengadili". Saya ingin tahu apa yang anda maksudkan dengan "tidak menganggu, merusuh, merusak bahkan mempengaruhi". Setahu saya, semua paham yang bertolak belakangan (seperti atheisme dan agama) sudah hampir pasti akan saling mengganggu dan mempengaruhi. Menurut saya kedua hal itu sebenarnya oke, selama perdebatannya tetap ada dalam ranah kata-kata. Masalah baru muncul ketika elemen kekerasan dilibatkan (ada pemaksaan fisik, bentrokan dan kerusuhan). Saya pikir solusi untuk ini terutama adalah perlindungan dan penegakan hukum atas hak untuk berbicara dan berkeyakinan.

      Hapus
  2. Memang sebaiknya hukum Indonesia memperbolehkan orang untuk tidak beragama. Tidak beragama bukan hanya atheis saja, namun ini juga mencakup para agnostik, humanis, freethinker, dan 'mereka yang percaya akan keberadaan Tuhan namun tidak percaya pada agama'. Seluruh kelompok ini terhitung 'irreligius'. Jangan menganggap orang-orang seperti ini adalah orang jahat atau tidak bermoral. Baik-buruk tidak hanya ditentukan oleh agama saja. Untuk menggantikan peran agama sebagai pedoman bertingkah laku, biasanya para irreligius menggunakan moral, etika, empati, sifat kemanusiaan, didikan orang tua mengenai sifat dan perilaku, hati nurani, dan lain sebagainya.
    Selain itu, rasanya tidak adil kalau orang boleh beragama, namun tidak boleh tidak beragama.

    BalasHapus
  3. Kita tunggu saja era kepemimpinan siapa yg akan berani mengusulkan aturan ini. Soalnya para penganut paham radikal seakan ditakuti oleh penegak hukum dan pemerintah.

    BalasHapus