Senin, 16 April 2012

Pencuri: Dipukuli?

Minggu lalu aku melihat sebuah peristiwa yang cukup mengguncangku.

Ini diawali dengan abang iparku yang hampir saja menjadi korban penyolongan. Saat itu aku sedang makan malam dengan kakakku dan suaminya di sebuah restoran yang ada di dalam sebuah mall di Jakarta Selatan. Kami saat itu sedang asik mengobrol. Kemudian tiba-tiba di tengah obrolan, seorang pelayan restoran datang ke meja kami. Ia bicara kepada suami kakak saya sambil menyerahkan sebuah tas yang ternyata merupakan milik abang iparku. Tas itu memang diletakkan abang iparku di lantai di samping kursinya duduk. Rupanya tas itu hampir dicolong oleh seseorang yang berpura-pura menjadi pengunjung restoran itu.

Kami sungguh-sungguh kaget. Aku, kakakku dan abang iparku, kami bertiga tidak menyadari sama sekali peristiwa itu. Beruntung salah seorang pelayan melihat kejadian itu dan langsung meneriaki si pelaku. Beberapa orang staf mengejar dia hingga akhirnya tertangkap. Tas abang iparku, berisikan dua laptop penuh dengan pekerjaan dia, kemudian mereka kembalikan.

Setelah tas dikembalikan, seorang petugas keamanan mall datang kepada kami dan bertanya apakah kami bersedia ikut dengan dia untuk melihat si pelaku dan juga untuk memasukan laporan pengaduan. Kami bertiga menyetujui. Kami penasaran dengan wajah si pelaku dan ingin tahu apakah kami bisa mengenali dia (bagaimana pun dia pernah lewat meja kami, walaupun kami tidak sadar). Abang iparku perlu mengajukan laporan agar para petugas keamanan bisa bertindak dan memasukkan dia ke tahanan. Jadi akhirnya kami pun pergi ke kantor petugas keamanan yang terletak di lantai paling bawah gedung mall tersebut.

Sesampainya di sana, kami akhrinya melihat si pencuri. Kami bertiga sama sekali tidak merasa pernah melihat dia. Ia duduk bersila di tengah kantor. Telanjang dada. Baju kemeja lengan panjangnya sudah dilepas dan diletakkan di atas meja kepala pengaman. Kedua tangannya diikat ke belakang. Para petugas keamanan mall mengerubungi dia dan menginterogasi dia, mencoba mencari tahu apakah dia bekerja sendirian atau tidak. Awalnya mereka hanya menanyakan pertanyaan saja. Tapi tidak berapa lama setelah kami tiba, entah kenapa perlakuan mereka terhadap si pelaku menjadi makin brutal. Seorang petugas kepala membenturkan jidatnya ke batok kepala si pelaku. Seorang yang lain menendang dia di bagian punggung. Seorang lagi menampari wajahnya. Aku dan kakakku berpandangan. Kemudian karena kami sama-sama merasa tidak tahan melihat itu, kami pun beranjak keluar dari kantor.

Namun dari luar kantor pun kami masih bisa melihat bagaiamana si pelaku diperlakukan. Kaca ke kantor cukup tembus pandang. Tampaknya ia justru diperlakukan lebih keras lagi. Ia disundut rokok, kemudian didorong ke sudut dan dijepit dengan lemari besi. Ada yang memukuli dia. Dan seterusnya.  Sepertinya perlakuannya terus bertambah parah. Ketika 10 menit kemudian abang iparku selesai memberikan laporan pencurian kepada petugas keamanan, kami pun pergi dari mall itu dengan perasaan lega.

Juga sedikit bersalah.

Terus terang perasaanku campur aduk melihat itu semua. Di satu sisi aku merasa apa yang terjadi sungguh-sungguh salah. Aku punya latar belakang HAM dan aku sungguh-sungguh merasa si pencuri tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Itu adalah pelanggaran haknya sebagai manusia. Namun di sisi lain aku tidak tahu bagaimana menghentikan penyiksaan itu. Aku merasa seperti memasuki wilayah asing yang tidak aku ketahui, dan aku ragu-ragu bagaimana mengambil tindakan yang tepat. Akhirnya aku memilih untuk diam saja  dan mengalihkan pandangan dari apa yang terjadi. Aku tidak ragu bahwa tingkat kekerasan akan makin tinggi setelah kami pergi, dan mungkin akan semakin tinggi ketika si pelaku itu diserahkan ke tangan polisi. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh si polisi terhadap si pelaku.

Sekarang kadang-kadang aku merasa bahwa aku telah bersalah. Mungkin seharusnya aku paling tidak coba bicara dengan para petugas keamanan tersebut dan mencoba membujuk mereka untuk berlaku lebih lembut dan tidak memukuli si pelaku. Entahlah. Mungkin saja tindakanku untuk diam saja saat itu sudah tepat. Aku tidak pernah benar-benar tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar