Minggu, 19 Februari 2012

Onde-onde dan Kebudayaan Khas Indonesia

Onde-onde. Kita semua tahu onde-onde. Jajanan pasar tradisional. Bisa ditemukan dengan mudah di mana pun di seluruh Indonesia. Bulat kecoklatan dengan bintik-bintik putih wijen, onde-onde paling enak dimakan saat hangat. Isi kacang hijaunya memberi rasa manis di mulut saat kita gigit. Salah satu makanan kesukaanku waktu SD. Aku tidak pernah lupa membeli onde-onde di tukang gorengan di samping sekolah bila mama sedang berbaik hati dan memberikan aku uang jajan.

Onde-onde sudah sangat dikenal, bahkan sejak dulu kala. Ibu kita tahu onde-onde. Ibunya ibu kita kemungkinan besar juga tahu onde-onde. Lebih jauh lagi, nenek dari nenek kita pun juga kemungkinan tahu onde-onde. Bahkan, konon onde-onde sudah sangat populer di jaman Majapahit. Di abad ke-13 (kurang lebih di masa-masa awal Majapahit berdiri), katanya kota Mojokerto sudah dikenal sebagai pusatnya onde-onde, reputasi yang terus bertahan hingga sekarang. Bila itu benar, maka onde-onde sudah dikenal orang Indonesia minimal selama 700 tahun. Bila itu benar, maka onde-onde memang benar adalah jajanan tradisional khas Indonesia.

Tapi apakah benar bahwa onde-onde adalah makanan khas Indonesia? Tadinya aku pikir demikian. Namun ternyata jawabannya tidak sesederhana yang aku duga sebelumnya.
Tahun lalu aku mendapatkan kesempatan untuk berkunjung dan tinggal di Manila, Filipina, selama beberapa waktu. Suatu ketika, aku pergi ke sebuah pasar tradisional di Manila bersama dengan serombongan teman dari berbagai negara. Di sana aku melihat kue yang bentuknya mirip sekali dengan onde-onde. Bentuknya mirip, bulat kecoklatan hasil dari bola tepung terigu yang digoreng dan kemudian ditaburi wijen, dan bagian dalamnya diisi dengan kacang hijau.

Menurut teman Filipina yang menemaniku saat itu, kue itu namanya Butsi atau Buchi, dan sebenarnya merupakan makanan khas Cina. Temanku yang Cina membenarkan, walaupun aku lupa apa nama aslinya dalam bahasa Mandarin. Aku kemudian mencoba menyicipi dan memang benar rasanya adalah rasa onde-onde. Aku lebih kaget lagi ketika teman-temanku yang dari Vietnam dan Thailand kemudian berkata bahwa mereka punya kue tradisional seperti itu juga di negara mereka masing-masing.

Tentu saja itu membangkitkan rasa penasaranku. Tidak berapa lama setelah itu aku mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang onde-onde. Menurut hasil penelitian singkatku ternyata onde-onde ini memang dikenal di berbagai negara di Asia Tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Kue ini berasal dari Cina dan dibawa oleh para pedagang Cina ratusan tahun lalu ke berbagai tempat sembari melakukan aktivitas dagang mereka. Orang-orang di Asia Tenggara rupanya menyukai rasa kue ini dan kemudian mulai membuatnya sendiri. Tidak sulit tentunya untuk membuat onde-onde karena bahan bakunya dapat ditemui dengan mudah di iklim tropik Asia Tenggara. Popularitas onde-onde rupanya tidak pernah surut hingga kue ini terus bertahan selama ratusan tahun hingga sekarang. Dia telah bertahan sedemikian lamanya sehingga orang-orang telah menganggap kue ini sebagai makanan tradisional mereka. Aku pikir di Indonesia tidak ada satu pun orang yang akan melabeli onde-onde sebagai makanan Cina, karena telah begitu melekatnya onde-onde ke dalam kosakata makanan kita. Kebanyakan dari kita pasti akan melabeli onde-onde sebagai jajanan tradisional Indonesia.

Kisah onde-onde ini membawaku berpikir lebih jauh tentang kebudayaan. Kenapa tiba-tiba bicara tentang kebudayaan? Tentu saja karena makanan adalah bagian dari budaya. Onde-onde adalah representasi kebudayaan. Pergerakan dan penyebaran kebudayaan pembuatan onde-onde dengan demikian bisa menjelaskan banyak tentang bagaimana budaya tumbuh dan berkembang, dan bagaimana budaya-budaya yang berbeda bisa saling mempengaruhi satu sama lain.

Jadi, pelajaran apa yang aku temukan dari melihat kasus onde-onde? Aku pikir pelajaran utamanya adalah bahwa dalam kebudayaan ‘kekhasan’ dan ‘keaslian’ merupakan konsep yang ilusif dan seringkali menipu. Onde-onde yang kita pandang khas dan asli ternyata berasal dari tempat lain dan bisa ditemukan juga di tempat lain. Lebih mengagetkan lagi adalah bahwa onde-onde ternyata hanyalah satu dari berbagai jenis budaya lokal yang kita pikir merupakan asli dari Indonesia namun sebenarnya memiliki asal usul dari tempat lain. Ada banyak contoh lain. Pakaian pernikahan tradisional orang Betawi, misalnya, rupanya hasil perkawinan dari pakaian tradisional Cina, Arab dan Belanda sekaligus. Pertunjukan wayang kulit rupanya terinspirasi dari pertunjukan wayang di India dan Cina (cerita wayang kulit bahkan telak-telakan mengambil kisah asli dari India dengan modifikasi sana sini).

Terutama kalau kita bicara konteks Indonesia, sebenarnya sulit sekali bagi kita untuk menemukan budaya yang memang asli dan khas Indonesia. Kita berada di jalur pertemuan berbagai kebudayaan besar dunia. Kebudayaan Cina dan India bertemu di kepulauan Indonesia sejak dahulu kala. Kemudian kebudayaan Arab dan Eropa datang dan ikut mempengaruhi kebudayaan kita. Hampir semua yang kita anggap tradisional di Indonesia sebenarnya merupakan hasil pengaruh dan terinspirasi dari kebudayaan lain. Sebaliknya juga kebudayaan kita ikut menginspirasi kebudayaan-kebudayaan lainnya.

Bagiku itu bagus, karena ini mendorong perkembangan budaya. Kebudayaan-kebudayaan yang berbeda menjadi inspirasi bagi satu sama lain. Interaksi dan pertukaran ide dengan orang luar memungkinkan kita untuk berpikir di luar kotak kebudayaan kita, membuka pikiran dan memberikan inspirasi bagi kita untuk mengembangkan kebudayaan kita sendiri.

Di sini aku perlu memberikan sedikit catatan. Akhir-akhir ini sepertinya ada kecenderungan di Indonesia untuk menciptakan batas kebudayaan, atau untuk menemukan kebudayaan khas yang asli Indonesia dan kemudian mendeklarasikannya sebagai milik Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghindari tindakan ‘pencurian budaya’ yang konon katanya sedang coba dilakukan oleh negara tetangga kita, Malaysia. Konon katanya Malaysia telah mengklaim sejumlah budaya yang ‘khas’ Indonesia sebagai milik mereka dan hal ini membangkitkan amarah banyak orang Indonesia.

Terus terang perasaan saya campur aduk setiap kali mendengar atau membaca berita ini, antara sedih, gelisah dan geli. Tampaknya di Indonesia ada kesalah pahaman tentang esensi budaya. Sepertinya orang-orang di Indonesia berpikir bahwa budaya memiliki batas pengaruh yang serupa dengan batas politik, sehingga dengan demikian budaya Indonesia adalah budaya yang hanya bisa ditemukan di dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Mereka lupa bahwa dalam hal kebudayaan perbatasan sifatnya lebih cair dan fleksibel dan seringkali tidak mengikuti batas politik. Orang-orang telah berpindah tempat sejak dahulu kala dari tempat asal dan kemudian menetap di tempat baru. Mereka membawa serta kebudayaan dari tempat asal mereka ke tempat tujuan. Seperti yang dilakukan oleh banyak migran dari Jawa, Aceh dan Maluku yang hijrah ke Malaysia dan menetap di sana. Tentu saja mereka tetap punya hak untuk mengklaim kebudayaan tempat asal mereka sebagai kebudayaan mereka juga bahkan walaupun mereka sudah bertempat di luar batas politik negara asal mereka, bukan? Lebih jauh lagi, bagi saya sungguh sangat memalukan bila kita menuding negara lain telah ‘mencuri’ kebudayaan kita, mengingat entah berapa banyak jenis kebudayaan yang telah kita tiru dan adopsi dari komunitas-komunitas lain di luar Indonesia. Ingat saja onde-onde.

Luar biasa bagaimana sepotong onde-onde bisa mengajarkan kita sedemikian banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar