Rabu, 29 Februari 2012

UNYIL

Orang-orang memanggilnya Unyil.  Itu nama julukan, bukan nama asli. Tapi nama itu begitu melekat hingga hampir tidak ada seorang pun yang tahu nama aslinya. Aku duduk satu kelas dengan dia selama satu tahun pertamaku di kampus, sehingga aku tahu bahwa nama aslinya adalah Mochtar Rachmat. Namun dua nama itu tidak pernah digunakan oleh siapa pun untuk memanggil dia, kecuali oleh para dosen saat sedang melakukan absensi. Setelah absensi, nama itu tidak akan terdengar lagi sepanjang kelas karena dosen-dosen tidak pernah memanggil dia untuk apa pun, dan ia sendiri selalu berusaha untuk tidak menarik perhatian para dosen.  Mochtar, Rachmat, atau Unyil bukan murid yang luar biasa cerdas atau brilian.

Kenapa ia dipanggil Unyil? Aku tidak tahu begitu persis kenapa. Aku tidak begitu akrab dengan dia, dan lagipula dia sebenarnya tiga tahun di atasku. Mungkin ia dipanggil demikian karena ukuran badannya yang kecil seperti boneka si unyil. Aku tidak tahu. Tapi asal-usul nama julukannya tidak begitu relevan. Yang relevan dengan cerita ini adalah si Unyil terkenal di kampusku sebagai Bandar narkoba.

Kamu ingin beli apa dari dia? Sabu-sabu? Ganja? Cimeng? Dia punya semua. Setiap hari, selepas jam makan siang, di belakang gedung kampus yang paling belakang, dia akan nongkrong sambil nyimeng bersama teman-temannya. Itu juga pusat transaksi dia. Semua orang di kampus tahu itu, bahkan juga para satpam. Tapi tidak pernah ada yang mengganggu dia. Mungkin juga para satpam itu dapat bagian dari penghasilan dia. Unyil si Bandar cimeng sepertinya tak tersentuh oleh siapa pun.

Tapi rupanya ia masih tersentuh oleh maut. Aku tidak begitu tahu persi detil ceritanya, namun rupanya suatu malam ia menghisap terlalu banyak ganja dan mengalami OD. Ia sendirian saat itu sehingga tidak ada yang sadar saat itu terjadi. Mayatnya baru ditemukan esok sorenya karena ia tidak muncul di tempat nongkrongnya yang biasa hari itu. Beberapa temannya pergi mengunjungi kostnya. Ketika ia tidak menjawab ketika dipanggil-panggil mereka mendobrak pintu kostnya dan menemukan ia sudah menjadi mayat. Aku tahu cerita ini dari teman sekelasku yang lain, David, yang juga anggota gengnya si unyil yang ikut pergi ke kostnya hari itu. Ada gosip yang beredar tidak lama setelah itu bahwa unyil sebenarnya tidak kecelakaan, melainkan bunuh diri.  Aku ingat cukup kaget mendengar berita itu, tapi tidak ada perasaan sedih, prihatin ataupun gundah. Seperti aku bilang, aku tidak dekat dengan dia. Jadi, aku tidak terlalu ingin tahu apakah gosip bunuh diri itu benar atau tidak.

Aku kemudian lulus kuliah, bekerja dan menikah. Aku sudah melupakan tentang kisah si Unyil itu, sampai kemarin ketika aku bertemu kembali dengan David di sebuah kedai kopi tanpa sengaja. Dia baru saja bertemu dengan seorang kliennya, dan aku sedang menunggu istriku. David sudah ‘bersih’, tidak menggunakan narkoba lagi, dan memiliki pekerjaan yang mapan dan mantap serta sudah menikah juga. Kami akhirnya bicara ngalor-ngidul tentang masa-masa kuliah, hingga entah bagaimana tiba-tiba kami jadi membicarakan tentang si unyil. Aku kemudian teringat pada gosip bunuh diri itu, dan bertanya ke David apakah gosip itu benar atau tidak.

David melihatku dalam-dalam dan bertanya, “elo benar-benar ingin tahu?”

Aku agak bingung dengan tatapannya, “ya kalau gue nggak penasaran, nggak mungkin nanya kan?”

Ia terlihat agak ragu-ragu. Menunduk sebentar seperti sedang berpikir dalam-dalam, kemudian setelah ia menghirup kopinya, ia berkata, “ya gue rasa memang seharusnya orang tahu, terlebih-lebih elo. Bahkan itu sebenarnya keinginan si Unyil. Cuma saat itu kami putuskan bahwa lebih baik tidak ada yang tahu.”

Aku tambah bingung dengan kata-kata dia, “apa maksud elo?”

“Unyil memang sebenarnya bunuh diri,” kata David. “Waktu itu saat kami menemukan Unyil di samping tubuhnya ada tiga lembar kertas folio yang penuh dengan tulisan tangan dia. Dari tulisan itu kami sadar bahwa unyil memang sengaja menelan pil banyak-banyak untuk bunuh diri. Itu sama sekali bukan kecelakaan. Namun setelah membaca kertas itu, kami putuskan untuk membuang surat itu agar tidak ditemukan oleh orang lain.”

“Loh kok begitu? Itu salah sama sekali!” kataku setengah berteriak. “Tidak sepantasnya itu kalian lakukan. Itu seperti pernyataan terakhir dia, bukan? Orang –orang terdekatnya pantas tahu apa yang hendak ia katakan.”

“Gue juga nggak tahu kenapa kita ngebuang surat dia. Mungkin karena kami terlalu shock dengan apa yang kita baca di situ. Kami sama sekali tidak menduga…” Jawab David.

“Apa yang dia tulis?”

David tidak menjawab. Ia pergi ke counter pemesanan dan membeli segelas kopi lagi. Espresso tanpa gula. Kemudian ia kembali lagi ke meja kami. Membuka sebungkus rokok, menyalakannya dan kemudian menghisapnya dalam-dalam. Ia melihatku lagi, katanya,

“Ini yang gue tahu dari apa yang gue baca di surat itu. Unyil sendiri nggak pernah cerita sedalam ini ke gue.  Dari satu geng tidak ada satu pun yang tahu ini sebelumnya.
Unyil itu anak pejabat. Keluarganya keluarga sukses. Abangnya yang paling tua salah satu lulusan terbaik akademi militer di angkatannya. Abangnya yang nomor dua dokter bedah. Semua orang pikir bahwa keluarga itu hanya menghasilkan bibit-bibit terbaik. Unyil itu anak terakhir dengan beda umur yang cukup jauh dengan abang-abangnya. Jadi ia tumbuh besar dengan melihat kesuksesan abang-abangnya dan ia diharapkan untuk mengikuti jejak mereka. Orang tidak ada yang pernah bertanya ke dia apakah dia ingin mendapat sukses seperti itu. Semuanya hanya berasumsi bahwa itu yang dia mau dan itu yang akan dia dapat.”

“Ternyata bukan itu yang dia mau, sehingga dia melarikan diri ke narkoba?”

“Kurang lebih seperti itu. Atau lebih tepatnya, ada hal-hal yang dia tahu dia tidak mau tapi orang-orang berpikir bahwa itu yang seharusnya dia inginkan, seperti kesuksesan abang-abangnya. Di lain pihak ada hal-hal yang dia tahu dia mau tapi bagi kebanyakan orang itu tidak seharusnya dia inginkan. Tampaknya kombinasi dari dua hal itulah yang mendorong dia untuk bunuh diri.” 

“Maksud lo?”

“Singkatnya, dia jatuh cinta.”

 “Jatuh cinta? Kalau jatuh cinta ya harus berjuang dong. Jangan menyerah dengan bunuh diri. Bukannya itu pengecut? Bego!” kataku setengah berteriak.

“Ya memang bego. Karena dia jatuh cinta sama elo,” kata David pelan.

Aku sungguh tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaan kagetku mendengar kata-kata David. Awalnya aku pikir dia bercanda, tapi matanya menatapku lurus-lurus. Aku menunggu dia untuk tertawa, tapi ia tidak tertawa sama sekali.
“Lo bercanda, kan?”

“Gue nggak bercanda. Setengah surat terakhirnya berisikan tentang perasaannya ke elo. Waktu kalian pertama kali ketemu di kelas. Dia masih ingat lo makai baju apa hari itu, kemudian bagaimana dia selalu duduk di belakang agar dia bisa melihat elo, dan walaupun kelas itu kelas pagi dia sama sekali nggak pernah absen karena dia pengen ketemu elo.”

Itu benar. Unyil sama sekali tidak pernah absen di kelas itu. Baru sekarang aku sadar bahwa itu memang aneh.

 “Lah, kok bisa? Kenapa? Gue nggak ngerti, apa…” dan aku tidak bisa berkata-kata lagi.

“Jangan tanya gue. Kami pun saat itu sama kagetnya. Kami tidak tahu sama sekali bahwa unyil itu gay. Dia rupanya sudah sadar tentang hal itu sejak usia 12 atau 13 tahun, katanya. Tapi ia rahasiakan itu dalam-dalam. Mungkin juga itu menambah alasan kenapa dia akhirnya lari ke narkoba.”

“Tapi… kenapa… kok bisa… maksud gue, kenapa… dia kan nggak perlu… dia kan sudah bertahan selama itu, kenapa tiba-tiba bunuh diri?”

“Kalau menurut dia, itu karena akhirnya elo pacaran dengan… dengan… gue sudah lupa nama pacar lo saat itu. Tapi itu bikin dia sungguh, sungguh patah hati. Dia bilang lo sempat beberapa kali beradu pandang dengan dia di kelas. Dia pikir mungkin lo juga ada perasaan ke dia. Jadi selama beberapa hari dia sudah pikir-pikir keras untuk ngajak lo bicara. Tapi suatu ketika dia ngelihat lo gandengan tangan dengan pacar lo. Itu yang bikin dia patah hati.”

Setelah itu David terdiam.
“Mungkin memang seharusnya kami tidak buang surat itu. Unyil itu anak baik, sebenarnya. Tapi…” 

Dia aduk kopinya lagi, kemudian dia habiskan dalam satu teguk. Melihat jam, dan berdiri.
“Oke deh, gue harus balik ke kantor lagi. Sampai ketemu lagi ya. Kita kontak-kontakan nanti ya.”

Aku masih kaget mendengar cerita David, tidak menjawab. David melihat ke arahku, kemudian bilang,
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Itu kejadian lama. Kita nggak bisa apa-apa lagi sekarang.” Kemudian sambil menjabat tanganku, dia bilang, “Sampai ketemu lagi, ya.”

Aku hanya menggumamkan kata-kata selamat tinggal.

Setelah David pergi, aku hanya duduk terdiam beberapa lama. Badanku lemas. Aku tidak mampu bergerak. Sekarang aku bisa mengingat jelas masa-masa itu. Unyil yang mungil. Tubuhnya memang kecil, seperti perempuan. Matanya agak sayu, tapi indah. Dulu aku suka memandang mata itu, tapi saat kami bersitatap aku selalu buru-buru mengalihkan pandanganku. Aku merasa berdosa. Sungguh berdosa. Tangannya kurus kecil, tampaknya rapuh. Aku sungguh ingin memegang tangannya, tapi aku merasa berdosa. Sungguh berdosa.

Tanpa sadar air mataku mengalir.

Bego!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar